Rabu, 17 Oktober 2012

TENTARA MASUK PESANTREN

Tak sengaja, sampailah Ibrahim bin Adham pada sebuah pasar di tengah kota Bashrah. Pasar yang begitu becek akibat terguyur hujan malam tadi. Pedagang-pedagang sangat berterima kasih atas kehadirannya di tengah-tengah mereka. Semua saling berkeroyokan berebut menyalaminya. Bagaimana tidak bangga, Ulama agung yang selama ini menjadi panutan hadir dan mau bertemu bermasyarakat, bertutur sapa dan duduk bersama.

Di tengah-tengah keasyikan mereka, sekumpulan tentara berjalan tegap dan berbaris rapi di atas tanah yang sedikit tergenang air. Para pedagangpun segera minggir supaya tidak tertabrak tentara-tentara muda itu. Tangan serempak yang terayun menimbulkan bunyi yang selaras. Sang komandan begitu antusias sekali menunjukkan kegagahan mereka di tengah pasar.

Hap.. Hap kiri kanan
Hap.. Hap kiri kanan

Tak peduli, Crat.. Crat air jalanan becek injakan kaki mereka muncrat kesana kemari mengenai baju, pakaian dan makanan yang dijajakan oleh para pedagang kota bashrah. Para pedagang dengan dongkol hanya bisa memadangi mereka dilambari rasa jengkel pada tentara pengaman itu. Merasa dipandangi, sang komandan memberhentikan pasukannya.
"Pasukan.. Berhentiii... Grak!"

Tanpa lama sang komandan muda itu segera mendekati kaum pedagang yang bajunya pada belepotan tanah liat becek yang terciprat.

"Apa kamu melotot saja! Gak terima kena cipratan tanah becek hah? Kalau gak terima, sana... Pergi saja dari sini, jangan jualan di kota bashrah."

Plak.. PLak

Dua pukulan tangan komandan itu melayang di pipi salah seorang yang bergerombol di pinggir jalan. Ia hanya diam saja sambil memandangi sang tentara muda dengan senyum. Dengan ramah orang tua itu berkata,
"Tuan seharusnya sebagai pelindung para pedagang bukan malah menakut-nakuti. Tuan seharusnya memberikan keuntungan bagi para pedagang dengan tugas anda sebagai tentara pengaman, bukan memberi kerugian dengan mengotori dagangan mereka. Bayangkan siapa yang mau membeli makanan yang berlumuran dengan lumpur?
Betapa banyak kerugian mereka karena dagangan tak laku dan terbuang percuma. Bayangkan kalau diri anda adalah pedagang, atau bayangkan bahwa diri anda adalah putra dari pedagang seperti mereka. Apa yang ada dalam pikiran anda, Anda susah apa senang?"

Setelah berucap demikian orang tua itu segera berlalu. Ucapan itu begitu menghujam dalam hati komandan muda. Ia pun kemudian bertanya pada salah seorang pedagang.
"Hai fulan, kamu tahu siapakah orang tua itu?"
Dengan rasa tak senang pedagang itu menjawab, "Dia adalah Tuan Ibrahim!"
"Ibrahim siapa? Di bashrah ini ratusan bahkan ribuan orang bernama Ibrahim!"
"Ibrahim bin Adham!"

Para pedagangpun segera bubar. Kini tinggal ia dan pasukannya terbengong-bengong. Tak menyangka bahwa ia bisa bertemu dengan ulama besar daerahnya. Namun apa yang dilakukan bukan malah menghormati dan menyalami tapi menampar muka orang yang selama ini menjadi penerang hidupnya melalui teladan dan petunjuknya.

"Siapa diantara kalian yang mengetahui rumah Tuan Ibrahim bin adham?" tanya sang komandan pada pasukannya.
"Saya tahu pak!" jawab salah seorang tentara.
"Di mana?"
"Pinggiran kota pak!"
"Bisa antarkan saya ke rumahnya?"
"Siap pak!"

Esok harinya, dua tentara muda mendatangi ibrahim. Mereka duduk bersila di depan gerbang pesantren dengan berpakaian lengkap ala tentara. Rambut cepat. Dari pagi hingga dzuhur dua tentara itu tak beringsut dari duduknya. Salah seorang santri yang kebetulan tahu segera melapor. Ibrahim bin adham bangkit dari duduk dan menghampiri pintu gerbang dan terjadilah dialog komandan dan ibrahim bin adham.
"Gerbang kami tak berpintu, kenapa tuan tidak masuk saja? Pesantren dan masjid ini milik semua muslim jadi tuan tak usah sungkan-sungkan di sini. Anggap saja di rumah sendiri."
"Kami akan terus bersila di sini sampai tuan memaafkan kami!"
"Bangkitlah kalian berdua, aku sudah memaafkan sebelum kalian datang kemari."
"Kenapa tuan begitu mudah memaafkan, padahal kami berbuat biadap kepadamu?"
"Karena Mukmin tak baik jadi pemarah dan pendendam. Pemaaf adalah kekasih Tuhan, hati tentram dan hidup pun dapat dilalui dalam kedamaian menuju surga dunia dan akherat. Sedangkan Pemarah dan pendendam adalah kekasih setan, hidupnya tak akan nyaman dan hanya ada permusuhan yang akan membawa ke neraka. Ayo bangkitlah kalian berdua, nanti tubuh kalian kotor."
"Kami belum akan bangkit, sebelum tuan guru menerima kami sebagai santri tuan."
Aku bisa saja menerima kalian, tapi bagaimana dengan tugas kalian sebagai tentara?"
"Izinkan kami tinggal di pesantren yang tuan asuh. Pagi kami berangkat tugas sebagai tentara, malam hari kami mengaji."
Baiklah kalau itu kemauan tuan-tuan, kami dengan bangga menyambut kalian sebagai keluarga baru di sini. Semoga betah dan krasan."

Demikianlah sikap dan sifat ulama salafus shalih terhadap umat, semoga kita bisa meneladani dan mengambil hikmah.

(Sumber CAP: Cerita Anak Pesantren, karya Jun Haris)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar