ia 9 tahunan.
Tentu saja sang ibu terkejut dengan sikap dan permintaan anaknya yang begitu tiba-tiba, tanpa ada tanda-tanda sebelumnya. Sang ibu berkata,
“Wahai anakku, kamu masih kecil, kenapa engkau tiba-tiba berkata seperti itu!!”
Abdul qadir menjawab, "Ketika saya bermaksud untuk menggembala sapi kita, aku berjalan mengiringinya yang berjalan di depanku. Saat itu pagi hari tepat tanggal 9 Dzulhijjah, hari Arafah yang mulia di mana kaum muslimin sedang beribadah haji bersiap-siap untuk wuquf di Padang Arafah. Tanpa saya duga, tiba-tiba sapi itu menoleh kepadaku yang berjalan mengikutinya, dan berkata,
“Wahai Abdul Qadir, engkau tidak dijadikan untuk ini, dan engkau tidak diperintahkan untuk mengerjakan ini, kau harus menuntut ilmu dan beribadah kepada-Nya!!”
Sang ibu menangis penuh haru sekaligus pilu mendengarnya, tangisan bahagia dan sedih.
Bahagia, karena ia yakin anaknya akan memperoleh derajad yang mulia di sisi Allah, sebagaimana “isyarat” yang dikandung dari peristiwa yang diceritakan anaknyanya.
Sedih, karena ia harus berpisah dengan putra kesayangannya, dan belum tentu akan bertemu di kemudian hari.
Tetapi sebagai seorang ibu yang sholihah, ia merasa bahwa sudah merupakan kehendak Allah anaknya akan menjalani kehidupan terpisah dengan dirinya, karena itu ia harus merelakan dan meridhoinya.
Pada waktu yang ditentukan, sang ibu menitipkannya pada kafilah yang akan berangkat ke Baghdad, ibunya berpesan, "Anakku, selalu berkatalah benar dan berlaku jujurlah dalam keadaan
apapun dan kepada siapapun. Berangkatlah wahai anakku, aku telah menitipkan engkau kepada Allah. Mungkin wajahmu takkan pernah kulihat lagi hingga datangnya hari kiamat!!”
Sang ibu sebelumnya memberi bekal anaknya 40 dinar dan menaruhnya pada SAKU RAHASIA di bawah ketiak anaknya.
Di tengah perjalanan, sekelompok perampok berjumlah enam puluh orang mengepung kafilah tersebut. Tak ada seorangpun luput dari penjarahan kecuali diambil dan dikuras hartanya. Tetapi Abdul Qadir kecil dibiarkan begitu saja karena ia tampak miskin dan tidak membawa apa-apa. Ternyata ada salah seorang perampok yang secara iseng bertanya, “Wahai bocah miskin, apakah kamu membawa sesuatu?”
Abdul Qadir menjawab,
“Saya memiliki empat puluh dinar!!”
“Di mana?” Tanya perampok itu.
“Terjahit di dalam saku rahasia di bawah ketiakku!!”
Tampaknya perampok itu menganggap Abdul Qadir bergurau atau hanya mengejek, karena itu ia tidak menanggapinya secara serius. Beberapa orang perampok lain yang melihatnya sempat menanyakan hal yang sama, dan Abdul Qadir kecil tidak pernah merubah jawabannya.
Ketika para perampok berkumpul di depan pimpinannya, mengumpulkan hasil jarahannya, sang pemimpin berkata, “Apakah harta mereka sudah kalian ambil semuanya?”
“Sudah semua Boss, hanya saja ada bocah miskin yang mengaku memiliki empat puluh dinar, tetapi saya tidak mempercayainya!!”
Dengan penasaran, maka sang pemimpin memerintahkan agar mendatangkan bocah itu. Abdul Qadir dihadapkan kepada sang pemimpin perampok, ia langsung berkata, “Hai bocah.. Kamu punya apa?”
Abdul Qadir menjawab,
“Saya memiliki empat puluh dinar yang dijahit di dalam saku di bawah ketiakku!!”
Sang pemimpin segera menggeledah ketiak abdul qadir, dan menemukan uang 40 dinar di bawah ketiaknya. Tapi kemudian ia tampak tercenung tak percaya melihat anak kecil di depannya. Ia berkata,
“Wahai bocah, mengapa kamu mengakui memilikinya dan tidak berbohong agar hartamu tidak kami rampas?”
Abdul Qadir kecil berkata, “Ibuku berwasiat agar aku selalu berkata benar dan berlaku jujur dalam keadaan apapun dan siapapun, dan aku tidak akan pernah mengingkari janjiku kepada beliau!!”
Pemimpin perampok itu langsung menangis mendengar kejujuran Abdul Qadir, dan berkata sambil terisak-isak, “Hai bocah, kamu tidak pernah sekalipun mengingkari janjimu kepada ibumu, sedang aku telah bertahun-tahun ‘mengingkari’ Allah, selalu menyalahi dan melanggar laranganNya!! Mulai saat ini aku bertaubat kepada Allah dan tidak akan merampok lagi, aku akan ikut kamu saja!!”
Para anak buahnya yang ikut terperangah kagum dengan kejujuran Abdul Qadir berkata kepada pimpinannya, “Engkau adalah pemimpin kami dalam kejahatan, maka engkau adalah pemimpin kami pula dalam bertaubat, kalau engkau ikut bocah ini, kami pun akan turut serta mengikutinya!!”
Para perompak yang bertaubat itu mengembalikan hasil jarahannya kepada kafilah, dan mengakui Abdul Qadir yang masih kecil sebagai guru mereka, bahkan mereka ikut menuntut ilmu di pesantren yang sama dengan abdul qadir.
(Sumber : CAP Cerita Anak Pesantren, Jun Haris)
Tentu saja sang ibu terkejut dengan sikap dan permintaan anaknya yang begitu tiba-tiba, tanpa ada tanda-tanda sebelumnya. Sang ibu berkata,
“Wahai anakku, kamu masih kecil, kenapa engkau tiba-tiba berkata seperti itu!!”
Abdul qadir menjawab, "Ketika saya bermaksud untuk menggembala sapi kita, aku berjalan mengiringinya yang berjalan di depanku. Saat itu pagi hari tepat tanggal 9 Dzulhijjah, hari Arafah yang mulia di mana kaum muslimin sedang beribadah haji bersiap-siap untuk wuquf di Padang Arafah. Tanpa saya duga, tiba-tiba sapi itu menoleh kepadaku yang berjalan mengikutinya, dan berkata,
“Wahai Abdul Qadir, engkau tidak dijadikan untuk ini, dan engkau tidak diperintahkan untuk mengerjakan ini, kau harus menuntut ilmu dan beribadah kepada-Nya!!”
Sang ibu menangis penuh haru sekaligus pilu mendengarnya, tangisan bahagia dan sedih.
Bahagia, karena ia yakin anaknya akan memperoleh derajad yang mulia di sisi Allah, sebagaimana “isyarat” yang dikandung dari peristiwa yang diceritakan anaknyanya.
Sedih, karena ia harus berpisah dengan putra kesayangannya, dan belum tentu akan bertemu di kemudian hari.
Tetapi sebagai seorang ibu yang sholihah, ia merasa bahwa sudah merupakan kehendak Allah anaknya akan menjalani kehidupan terpisah dengan dirinya, karena itu ia harus merelakan dan meridhoinya.
Pada waktu yang ditentukan, sang ibu menitipkannya pada kafilah yang akan berangkat ke Baghdad, ibunya berpesan, "Anakku, selalu berkatalah benar dan berlaku jujurlah dalam keadaan
apapun dan kepada siapapun. Berangkatlah wahai anakku, aku telah menitipkan engkau kepada Allah. Mungkin wajahmu takkan pernah kulihat lagi hingga datangnya hari kiamat!!”
Sang ibu sebelumnya memberi bekal anaknya 40 dinar dan menaruhnya pada SAKU RAHASIA di bawah ketiak anaknya.
Di tengah perjalanan, sekelompok perampok berjumlah enam puluh orang mengepung kafilah tersebut. Tak ada seorangpun luput dari penjarahan kecuali diambil dan dikuras hartanya. Tetapi Abdul Qadir kecil dibiarkan begitu saja karena ia tampak miskin dan tidak membawa apa-apa. Ternyata ada salah seorang perampok yang secara iseng bertanya, “Wahai bocah miskin, apakah kamu membawa sesuatu?”
Abdul Qadir menjawab,
“Saya memiliki empat puluh dinar!!”
“Di mana?” Tanya perampok itu.
“Terjahit di dalam saku rahasia di bawah ketiakku!!”
Tampaknya perampok itu menganggap Abdul Qadir bergurau atau hanya mengejek, karena itu ia tidak menanggapinya secara serius. Beberapa orang perampok lain yang melihatnya sempat menanyakan hal yang sama, dan Abdul Qadir kecil tidak pernah merubah jawabannya.
Ketika para perampok berkumpul di depan pimpinannya, mengumpulkan hasil jarahannya, sang pemimpin berkata, “Apakah harta mereka sudah kalian ambil semuanya?”
“Sudah semua Boss, hanya saja ada bocah miskin yang mengaku memiliki empat puluh dinar, tetapi saya tidak mempercayainya!!”
Dengan penasaran, maka sang pemimpin memerintahkan agar mendatangkan bocah itu. Abdul Qadir dihadapkan kepada sang pemimpin perampok, ia langsung berkata, “Hai bocah.. Kamu punya apa?”
Abdul Qadir menjawab,
“Saya memiliki empat puluh dinar yang dijahit di dalam saku di bawah ketiakku!!”
Sang pemimpin segera menggeledah ketiak abdul qadir, dan menemukan uang 40 dinar di bawah ketiaknya. Tapi kemudian ia tampak tercenung tak percaya melihat anak kecil di depannya. Ia berkata,
“Wahai bocah, mengapa kamu mengakui memilikinya dan tidak berbohong agar hartamu tidak kami rampas?”
Abdul Qadir kecil berkata, “Ibuku berwasiat agar aku selalu berkata benar dan berlaku jujur dalam keadaan apapun dan siapapun, dan aku tidak akan pernah mengingkari janjiku kepada beliau!!”
Pemimpin perampok itu langsung menangis mendengar kejujuran Abdul Qadir, dan berkata sambil terisak-isak, “Hai bocah, kamu tidak pernah sekalipun mengingkari janjimu kepada ibumu, sedang aku telah bertahun-tahun ‘mengingkari’ Allah, selalu menyalahi dan melanggar laranganNya!! Mulai saat ini aku bertaubat kepada Allah dan tidak akan merampok lagi, aku akan ikut kamu saja!!”
Para anak buahnya yang ikut terperangah kagum dengan kejujuran Abdul Qadir berkata kepada pimpinannya, “Engkau adalah pemimpin kami dalam kejahatan, maka engkau adalah pemimpin kami pula dalam bertaubat, kalau engkau ikut bocah ini, kami pun akan turut serta mengikutinya!!”
Para perompak yang bertaubat itu mengembalikan hasil jarahannya kepada kafilah, dan mengakui Abdul Qadir yang masih kecil sebagai guru mereka, bahkan mereka ikut menuntut ilmu di pesantren yang sama dengan abdul qadir.
(Sumber : CAP Cerita Anak Pesantren, Jun Haris)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar