Kamis, 20 September 2012

NAMAKU HUSAIN IV

Mbah kyai tersenyum melihat aku belingsatan serba salah.
"Kamu kenapa? Biasa aja lha wong aku cuma kebetulan mampir kok. Ini kenalkan temanku waktu di pesantren dulu." kata mbah kyai sambil menunjuk lelaki di sampin
gnya.
"Muhammad Husain" sambil menjabat tangannya.
"Saya Pak Gunawan."

Setelah itu aku duduk di depan guru sambil terus menundukkan kepala, aku tak berani lama-lama menatap mata beliau yang lembut tapi penuh rahasia. Sementara mbah kyai berbincang dengan sahabatnya.

Menjelang jam 7 pagi, mbah kyai berkata,
"Kamu hari ini gak ada repot sin?"
"Tidak, kyai."
"Kalau begitu kamu ikut saya ke rumah pak Gun, di rumahnya ada kondangan."
"Baik Kyai."
"Selain itu, kang gunawan ini punya anak gadis yang baru pulang dari pesantren krapyak (jogjakarta), anaknya cantik lho, sin. Ya.. Siapa tahu aja dia berjodoh dengan kamu sin! Bukankah demikian kang gun?"
Pak gunawan tersenyum.

Kami pun berangkat, Pak gun dengan sepeda motor Suzuki 700 membonceng mbah kyai, sementara aku mengikutinya dengan sepeda ontel kesayanganku.

Sesampai di rumah pak gunawan, tampak olehku sejumlah warga berkumpul menghadiri acara kondangan. Sepulang warga, tinggal aku dan mbah kyai yang tersisa. Aku hanya duduk terdiam, hati berdebar tak karuan. Bayangan sosok manakah yang akan muncul kali ini. Akankah ia seorang mahasiswi yang berotak nasionalis, ataukah seorang gadis pesantren yang berasumsi materialis. Sejuta tanya tiada jawab, berkecamuk dalam kepala yang tertunduk. Andai ia gadis nasionalis, mungkin masih ada jalan searah yang bisa aku tempuh, sebab kepahamanku melaksanakan ajaran agama islam secara utuh dan menyeluruh, merupakan pengamalan pancasila secara real dan konsekwen, bukan sekedar orasi, slogan yang manis di bibir saja.

"Nak Husain.. Sebentar lagi Fatimah anak saya akan masuk ke sini. Silahkan lihat dan pandangi. Kami orang tua hanya bisa jadi saksi." suara pak gunawan membuyarkan lamunanku
"Tapi jangan lihat yang neko-neko lho sin.. Awas ada hansip di luar.. He he." kelakar mbah kyai.

Tak percayakah aku pada pandangan mataku sendiri?
Atau sudah lamur dan rabunkah keduanya?
Tampak nyata keluar dari kamar membawa minuman dalam nampan. Langkahnya terseok-seok, tersendat-sendat lambat. Gelas di nampanpun serasa terguncang mengikuti gerak kakinya yang naik turun.
Aku mengucek-ngucek mata, benarkah apa yang aku lihat, seorang gadis berkaki pincang sebelah. Datang kemudian menuangkan kopi di hadapanku. Pikiranku kacau balau, mulut tak mampu untuk meracau.

Buumm..
Belum selesai pikiranku terjerembab dalam ketidak-percayaan, Kulihat wajahnya, ketika duduk di samping ayahnya. Benjolan-benjolan kecil berwarna hitam menghiasi separuh wajahnya. Terlihat jelas wajah tak menarik di mukanya. Dipadu jilbab putih yang sangat bertolak belakang warna dan rona wajahnya.
Sangat kontras. Aku dengan cepat menundukkan wajah dan pandanganku..
Astagfirullahal adzim
Subhanaka la ilma lana illa ma allamtana innaka antal alimul hakim

Aku terduduk pasrah, bagai samudra tak berombak, tak ku perhatikan lagi gadis itu dengan langkah lenggang kangkungnya meninggalkan tempat duduknya. Terang dan gelap pandanganku. Otakku berontak, miris dan terlecut panasnya keragu-raguanan. Namun Hatiku tak kuasa menolak dinding tebal doa-doa ku, ANDAI PILIHANMU ADALAH GADIS BEKAS WTS, AKUPUN TAK KAN MENOLAK. Ku buang wajah yang penuh benjolan yang terbayang, ku ganti kurnia dan jawaban Allah. Ku sirnakan langkah pincang tertatih-tatih dengan bayangan hadirnya mata lentik bayi di pangkuanku. Was-was adalah iblis. Ragu-ragu adalah syetan. Kumantapkan dalam hati untuk menerima dia apa adanya. Innallaha la yandzuru ila shuwarikum, wala ila amwalikum, wala ila ahsabikum, walakin yandzuru ila qulubikum wa a'malikum
Hatinya... Dan amalnya, itulah kunci pandangan yang bayan dan haq.

"Bagaimana sin, fatimah. Kamu mau jadi suaminya?" Tanya mbah kyai.
Dengan mata yang mantap akupun menjawab dengan anggukan.
"Aku tanya sekali lagi, kamu sanggup jadi mantunya kang gunawan?"
"Sanggup kyai, bila dia adalah jodo saya, maka saya berjanji tak akan menyia-nyiakannya. Saya akan memikul amanat ini."
"Mantap kamu, sin?"
"Insya Allah, kyai."
"Kalau ijab qabul sekarang kamu siap?"
"Siap Kyai."
"Bagaimana kang gun, sampeyan bisa cari saksi dan menjemput orang tuanya husain di rumah?" Kata kyai pada pak gunawan
"Gak terlalu cepat tho kang?"
"Oh yo gak tho kang, justru aku rasa ini udah terlambat."

Selang 3-4 jam, orang suruhan pak gun datang membawa bapak ibu, mas hasan dan istrinya. Ibu menangis terisak sambil memelukku. Sementara bapak dan mas hasan menyalami mbah kyai.

Tak tahu siapa yang bikin skenario, lepas dzuhur arak-arakan manusia berbaju putih datang membawa rebana yang ternyata kawan-kawanku dan santri2 mas hasan. Aku hanya duduk di pojokan masjid depan rumah pak gunawan ditemani ibu dan mbak iparku.
"Sin, ini mak bawa uang seratus ribu, nanti kamu pake buat maskawin, mak tahu tadi kamu gak bawa uang sama sekali, ya tho le?"
"Injih mak."

Di masjid itu, dengan menjabat tangan mbah kyai, "Ankahtuka wa zawwajtuka Muhammad husain bin Muradji, bi fathimata binti gunawan bi mahri miati alfi rufiyatin hallan."
"Qobiltu nikahaha wa tazwijaha bimahril madzkur, hallan."
Para saksi-saksipun mengangguk tanda suksesnya ijab qabul.

Alhamdulillah.. Itulah kata yang hampir serentak didengungkan. Masih tertancap janji, bila aku menikahi gadis pincang ini, maka akulah yang akan menyelesaikan tugasnya..

To be continue..

(Sumber: CAP Cerita Anak Pesantren, Jun Haris)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar