rang
tua dan kerabatnya bermaksud menikahkannya, ia selalu saja menolak. Ia
beranggapan bahwa kesibukannya mengurus istri dan anak-anak hanya akan
mengganggu ibadahnya kepada Allah.
Gus ilham disukai banyak orang karena keshalihan dan kesosialannya pada masyarakat, dan banyak diantaranya yang ingin mengambilnya sebagai menantu. Di jaman itu, ukuran keutamaan seseorang di masyarakat adalah akhlak dan keshalehannya, tidak seperti sekarang ini meski shalih tapi tak berharta, tak punya gajian, tak punya profesi mapan maka kemana-mana akan dipandang sebelah mata. Seumpama ada yang shalih yang pekerjaannya hanya ‘sekedarnya’ mungkin hanya satu-dua orang yang berkeinginan menikahkan putrinya atas dasar KESHALIHAN.
Meski banyak sekali orang yang ingin ‘melamar’ gus ilham untuk
dinikahkan dengan putrinya, namun ia menolaknya dgn sopan dan Ia makin meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadahnya.
Suatu hari ketika bangun dari tidurnya, tiba-tiba saja pemuda itu berkata,
“Nikahkanlah aku, nikahkanlah aku!!”
Karena kayaknya gus ilham dilanda galau berat, Pak kyai dan para kerabatnya, saling berpandangan penuh keheranan. Ibu Nyai berkata pada anaknya,
“Mengapa tiba-tiba kamu minta menikah tho le, padahal selama ini kamu selalu menolaknya??”
Gus ilham menjawab,
“Dalem (saya, jawa) ingin mempunyai anak yang banyak Umi, dan ada diantara
mereka yang meninggal ketika masih kecil (belum baligh), dan saya akan bersabar karena kematiannya!!”
Sekali lagi Keluarga Ndalem dibuat kebingungan, Pak kyai dan Bu nyai berpandangan tidak mengerti, sepertinya janggal nian keinginan putranya ini. Gus ilham mengerti akan kebingungan abah dan uminya, dan ia menceritakan kalau ia baru saja bermimpi, seolah-olah kiamat telah tiba. Ia berdiri di padang Mahsyar dalam keadaan panas dan haus yang tidak terperikan, seolah-olah panas dan haus akan mematahkan lehernya. Tidak ada sesuatu yang bisa diminum untuk menghilangkan rasa haus dan panas itu, dan sepertinya ‘penderitaan’ itu akan berlangsung sangat lama.
Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba ia melihat anak-anak yang berjalan dan bergerak diantara begitu banyak orang dengan membawa gelas-gelas perak yang ditutup dengan saputangan dari cahaya. Mereka itu tengak-tengok kiri kanan mencari-cari seseorang dan ketika menemukan seseorang, mereka berikan minuman dalam gelas tersebut.
Ketika beberapa anak melewatinya, ia mencoba mengulurkan tangan meminta gelas itu sambil berkata, “Berikanlah kepadaku karena aku juga sangat haus!!”
Anak-anak itu menghalangi maksudnya, mereka memandangi gus ilham beberapa saat, kemudian berkata, “Panjenengan (anda, jawa) tidak mempunyai anak diantara kami, dan kami hanya akan memberikan minuman kepada ayah dan ibu kami!!”
Gus ilham bertanya, “Siapakah sebenarnya kalian ini!!”
Mereka menjawab, “Kami adalah anak-anak dari kaum muslimin, dan kami meninggal sewaktu kami masih kecil dan belum baligh, sementara orang tua kami bersabar dengan musibah dari Allah berupa kematian kami!!”
Setelah menceritakan tentang mimpinya Gus ilham berkata kepada Pak kyai dan Ibu nyai beserta kerabat yang mengitarinya, “Saat itu (di padang mahsyar) aku sangat menyesal dan menangisi nasibku karena aku mati sebelum mau menikah. Mungkin itu hukumanku karena ‘tidak mengikuti’ sunnah Rasulullah SAW. Saat aku menangis, tiba-tiba aku terbangun dari mimpi dan semua peristiwa itu ternyata hanya dalam mimpi, walau sepertinya sangat jelas dan terasa nyata. Karena itulah aku berteriak minta segera dinikahkan!!”
(Sumber: CAP, Cerita Anak Pesantren, Karya Jun Haris)
Gus ilham disukai banyak orang karena keshalihan dan kesosialannya pada masyarakat, dan banyak diantaranya yang ingin mengambilnya sebagai menantu. Di jaman itu, ukuran keutamaan seseorang di masyarakat adalah akhlak dan keshalehannya, tidak seperti sekarang ini meski shalih tapi tak berharta, tak punya gajian, tak punya profesi mapan maka kemana-mana akan dipandang sebelah mata. Seumpama ada yang shalih yang pekerjaannya hanya ‘sekedarnya’ mungkin hanya satu-dua orang yang berkeinginan menikahkan putrinya atas dasar KESHALIHAN.
Meski banyak sekali orang yang ingin ‘melamar’ gus ilham untuk
dinikahkan dengan putrinya, namun ia menolaknya dgn sopan dan Ia makin meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadahnya.
Suatu hari ketika bangun dari tidurnya, tiba-tiba saja pemuda itu berkata,
“Nikahkanlah aku, nikahkanlah aku!!”
Karena kayaknya gus ilham dilanda galau berat, Pak kyai dan para kerabatnya, saling berpandangan penuh keheranan. Ibu Nyai berkata pada anaknya,
“Mengapa tiba-tiba kamu minta menikah tho le, padahal selama ini kamu selalu menolaknya??”
Gus ilham menjawab,
“Dalem (saya, jawa) ingin mempunyai anak yang banyak Umi, dan ada diantara
mereka yang meninggal ketika masih kecil (belum baligh), dan saya akan bersabar karena kematiannya!!”
Sekali lagi Keluarga Ndalem dibuat kebingungan, Pak kyai dan Bu nyai berpandangan tidak mengerti, sepertinya janggal nian keinginan putranya ini. Gus ilham mengerti akan kebingungan abah dan uminya, dan ia menceritakan kalau ia baru saja bermimpi, seolah-olah kiamat telah tiba. Ia berdiri di padang Mahsyar dalam keadaan panas dan haus yang tidak terperikan, seolah-olah panas dan haus akan mematahkan lehernya. Tidak ada sesuatu yang bisa diminum untuk menghilangkan rasa haus dan panas itu, dan sepertinya ‘penderitaan’ itu akan berlangsung sangat lama.
Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba ia melihat anak-anak yang berjalan dan bergerak diantara begitu banyak orang dengan membawa gelas-gelas perak yang ditutup dengan saputangan dari cahaya. Mereka itu tengak-tengok kiri kanan mencari-cari seseorang dan ketika menemukan seseorang, mereka berikan minuman dalam gelas tersebut.
Ketika beberapa anak melewatinya, ia mencoba mengulurkan tangan meminta gelas itu sambil berkata, “Berikanlah kepadaku karena aku juga sangat haus!!”
Anak-anak itu menghalangi maksudnya, mereka memandangi gus ilham beberapa saat, kemudian berkata, “Panjenengan (anda, jawa) tidak mempunyai anak diantara kami, dan kami hanya akan memberikan minuman kepada ayah dan ibu kami!!”
Gus ilham bertanya, “Siapakah sebenarnya kalian ini!!”
Mereka menjawab, “Kami adalah anak-anak dari kaum muslimin, dan kami meninggal sewaktu kami masih kecil dan belum baligh, sementara orang tua kami bersabar dengan musibah dari Allah berupa kematian kami!!”
Setelah menceritakan tentang mimpinya Gus ilham berkata kepada Pak kyai dan Ibu nyai beserta kerabat yang mengitarinya, “Saat itu (di padang mahsyar) aku sangat menyesal dan menangisi nasibku karena aku mati sebelum mau menikah. Mungkin itu hukumanku karena ‘tidak mengikuti’ sunnah Rasulullah SAW. Saat aku menangis, tiba-tiba aku terbangun dari mimpi dan semua peristiwa itu ternyata hanya dalam mimpi, walau sepertinya sangat jelas dan terasa nyata. Karena itulah aku berteriak minta segera dinikahkan!!”
(Sumber: CAP, Cerita Anak Pesantren, Karya Jun Haris)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar