an. Bahkan
aku semakin supel dan blater bergaul pada setiap orang, tak ada dendam
dan permusuhan, tak ada iri dan dengki, yang ada hanya ayem, tentrem dan
kedamaian.
Semua orang hanya tahu roman muka dan keceriaanku. Aku murah senyum pada semua orang, meski Tak tahu apa yang bergejolak dalam dadaku. Yang tiap malam selalu berdoa agar segera diberikan jodo yang kufu denganku. Aku teringat pada kata-kata nabi ya'kub, Innama asyku batsi wa huzni ilallah, Niscaya segala keluh kesah, gundah gulana, kesedihan dan kepedihan hanya patut kuadukan pada Allah semata, bukan pada manusia dan lainnya.
Ketika keluar rumah, tak jarang aku bersimpang dan berpapasan dengan cewek2 pelajar SMU dan mahasiswi, dan rata-rata mereka selalu menggoda aku, menanyakan aku sudah punya pacar atau belum. Hanya senyum yang kuberikan pada mereka. Bahkan tak segan-segan ada yang kirim surat. Aku tak punya hp jadi tak ada sms aku terima.
Otakku berontak manakala hatiku menolak dijadikan pacar, ingin punya tambatan hati, tapi aku takut dosa, sehingga peperangan batin yang berkecamuk antara hati dan akal, aku selalu memenangkan hati kecilku, bahwa hati kecil tak pernah bohong dan tak mau diajak maksiat, namun akal bisa teledor bahkan cenderung pada mengakali hukum. Pacaran bagi akal adalah boleh dan sah, namun hati mengatakan pacaran adalah dosa, sebab mendekati pada perbuatan zina.
Aku tak protes pada hukum Allah, untuk melarang pacaran. Dan akupun mesti berjuang keras untuk itu. Biarlah apa kata dunia, aku dianggap kolot, ndeso dan katrok, ketinggalan zaman.. Aku tak perduli.
Apa guna modern kalau aku melanggar perintah Allah?
Apa guna dicap cowok gaul, tapi pada kenyataannya harus menentang hukum?
Biarlah..
Ku terima dengan lapang dada semua kata mereka. Aku lebih bangga menyandang predikat jomblo abadi dari pada menghilangkan watak pribadi SANTRI yang selama ini aku jalani dan ugemi.
Aku lebih bahagia disebut perjaka tua tulen dan orisinil, dari pada menjadi laki-laki bekas, second dan mustakmal.
Semua kupasrahkan pada ilahi, aku tak ingin menyakiti Tuhan dengan memberontak hukumnya. Aku tak ingin disebut laku keras tapi berlabel pemberontak Allah, biarlah aku begini, aku tetap akan berusaha untuk menikah, tak tahu itu kapan, aku setia doa & usaha dan menyerahkan hasilnya dengan pasrah dan tawakal.
Kakakku, Hasan adalah pengasuh pesantren. Meski santrinya hanya puluhan saja, namun perjuangannya beserta istri untuk mencarikan jodo buat aku tak kurang-kurang. Pernah juga aku dipertemukan teman mbak iparku. Ia teman mbakku sewaktu mondok di pesantren khusus Hafidzoh (Penghafal Al quran wanita). Orangnya hafidzoh juga seperti mbak. Aku diperkenalkan padanya di pesantren milik kakak. Ia datang bersama keponakannya, dari lamongan ia tempuh dengan menaiki bus angkutan umum.
Jauh-jauh ia tempuh hanya ingin tahu, husain itu yang mana sih..
Selain hafidzoh, ia juga punya kegiatan lain yakni memberikan les pada anak2 pelajar di desanya. Sebab dia adalah guru honor SMP, di lamongan. Mungkin agar ilmu kuliahnya tak hilang dari ingatan, mengingat ia adalah S2 jurusan bahasa inggris. Pembawaannya kalem, tutur katanya indah. Wajah mungkin gak terlalu cantik. Hitam manis dan berpostur kecil 160cm.
Ini dia nih..Pikirku
Mungkin inilah jodoku..
Aku di tengah malam selalu berdoa untuk keselamatannya, kesehatan dan doa-doa kebaikan yang lain untuknya. Malah terkadang aku lupa untuk mendoakan diriku sendiri.
Sebulan berlalu, aku dipanggil mbak iparku, tanpa banyak bertanya dia langsung tunjukkan sms kepadaku, meski aku tak paham operasional hp tapi aku masih bisa untuk membaca,
"Mbak, maaf sebelumnya. Bukan aku tak mau dengan proses ta'aruf dan perjodohan ini, tapi IBUKU TAK MEMPERBOLEHKAN AKU DAPAT SUAMI YANG JAUH TEMPATNYA....
Sekali lagi, maaf. Sampaikan juga salam maaf saya buat mas husain."
Bummm...
Dadaku sesak seperti tertimpa bom hirosima nagasaki. Seluruh persendianku berasa rontok. Jantungku terasa berhenti berdenyut.. Doa-doaku kandas dilalap lokasi yang jauh.
Pikiranku tak tentu arah, APAKAH MUNGKIN JAUHNYA JARAK JADI ALASAN, kenapa juga melakukan ta'aruf jika sebelumnya telah ia ketahui rumahku jauh dari rumahnya?
Ohh.. Tuhan
Cerita apa lagi yang hendak hamba perankan, kisah sedih mana lagi yang bakal hamba jalani, balada tragedi mana lagi yang hendak Engkau skenario buatku, sehingga Engkau dengan menakjubkan menunjuk aku sebagai Tokoh utama yang penuh air mata?
Kulihat mbak iparku sesenggukan di pojok rumah. Sementara Mulutku menganga tak tahu harus bilang apa. Tersumpal balada hidup yang tak kunjung usai. Tertahan air mata disudut mata lemahku, namun tersungging senyum pahitku...
Allahu akbar
Innama asyku batsi wa huzni ilallah
Setetes air mata ku seka dengan La yukallifullohu nafsan illa wus-aha...
Kapankah kebahagiaan dapat ku genggam dalam rengkuhku?
(Kisah nyata sahabat penulis, Sumber: CAP Cerita Anak Pesantren, Jun Haris)
Bersambung...
Semua orang hanya tahu roman muka dan keceriaanku. Aku murah senyum pada semua orang, meski Tak tahu apa yang bergejolak dalam dadaku. Yang tiap malam selalu berdoa agar segera diberikan jodo yang kufu denganku. Aku teringat pada kata-kata nabi ya'kub, Innama asyku batsi wa huzni ilallah, Niscaya segala keluh kesah, gundah gulana, kesedihan dan kepedihan hanya patut kuadukan pada Allah semata, bukan pada manusia dan lainnya.
Ketika keluar rumah, tak jarang aku bersimpang dan berpapasan dengan cewek2 pelajar SMU dan mahasiswi, dan rata-rata mereka selalu menggoda aku, menanyakan aku sudah punya pacar atau belum. Hanya senyum yang kuberikan pada mereka. Bahkan tak segan-segan ada yang kirim surat. Aku tak punya hp jadi tak ada sms aku terima.
Otakku berontak manakala hatiku menolak dijadikan pacar, ingin punya tambatan hati, tapi aku takut dosa, sehingga peperangan batin yang berkecamuk antara hati dan akal, aku selalu memenangkan hati kecilku, bahwa hati kecil tak pernah bohong dan tak mau diajak maksiat, namun akal bisa teledor bahkan cenderung pada mengakali hukum. Pacaran bagi akal adalah boleh dan sah, namun hati mengatakan pacaran adalah dosa, sebab mendekati pada perbuatan zina.
Aku tak protes pada hukum Allah, untuk melarang pacaran. Dan akupun mesti berjuang keras untuk itu. Biarlah apa kata dunia, aku dianggap kolot, ndeso dan katrok, ketinggalan zaman.. Aku tak perduli.
Apa guna modern kalau aku melanggar perintah Allah?
Apa guna dicap cowok gaul, tapi pada kenyataannya harus menentang hukum?
Biarlah..
Ku terima dengan lapang dada semua kata mereka. Aku lebih bangga menyandang predikat jomblo abadi dari pada menghilangkan watak pribadi SANTRI yang selama ini aku jalani dan ugemi.
Aku lebih bahagia disebut perjaka tua tulen dan orisinil, dari pada menjadi laki-laki bekas, second dan mustakmal.
Semua kupasrahkan pada ilahi, aku tak ingin menyakiti Tuhan dengan memberontak hukumnya. Aku tak ingin disebut laku keras tapi berlabel pemberontak Allah, biarlah aku begini, aku tetap akan berusaha untuk menikah, tak tahu itu kapan, aku setia doa & usaha dan menyerahkan hasilnya dengan pasrah dan tawakal.
Kakakku, Hasan adalah pengasuh pesantren. Meski santrinya hanya puluhan saja, namun perjuangannya beserta istri untuk mencarikan jodo buat aku tak kurang-kurang. Pernah juga aku dipertemukan teman mbak iparku. Ia teman mbakku sewaktu mondok di pesantren khusus Hafidzoh (Penghafal Al quran wanita). Orangnya hafidzoh juga seperti mbak. Aku diperkenalkan padanya di pesantren milik kakak. Ia datang bersama keponakannya, dari lamongan ia tempuh dengan menaiki bus angkutan umum.
Jauh-jauh ia tempuh hanya ingin tahu, husain itu yang mana sih..
Selain hafidzoh, ia juga punya kegiatan lain yakni memberikan les pada anak2 pelajar di desanya. Sebab dia adalah guru honor SMP, di lamongan. Mungkin agar ilmu kuliahnya tak hilang dari ingatan, mengingat ia adalah S2 jurusan bahasa inggris. Pembawaannya kalem, tutur katanya indah. Wajah mungkin gak terlalu cantik. Hitam manis dan berpostur kecil 160cm.
Ini dia nih..Pikirku
Mungkin inilah jodoku..
Aku di tengah malam selalu berdoa untuk keselamatannya, kesehatan dan doa-doa kebaikan yang lain untuknya. Malah terkadang aku lupa untuk mendoakan diriku sendiri.
Sebulan berlalu, aku dipanggil mbak iparku, tanpa banyak bertanya dia langsung tunjukkan sms kepadaku, meski aku tak paham operasional hp tapi aku masih bisa untuk membaca,
"Mbak, maaf sebelumnya. Bukan aku tak mau dengan proses ta'aruf dan perjodohan ini, tapi IBUKU TAK MEMPERBOLEHKAN AKU DAPAT SUAMI YANG JAUH TEMPATNYA....
Sekali lagi, maaf. Sampaikan juga salam maaf saya buat mas husain."
Bummm...
Dadaku sesak seperti tertimpa bom hirosima nagasaki. Seluruh persendianku berasa rontok. Jantungku terasa berhenti berdenyut.. Doa-doaku kandas dilalap lokasi yang jauh.
Pikiranku tak tentu arah, APAKAH MUNGKIN JAUHNYA JARAK JADI ALASAN, kenapa juga melakukan ta'aruf jika sebelumnya telah ia ketahui rumahku jauh dari rumahnya?
Ohh.. Tuhan
Cerita apa lagi yang hendak hamba perankan, kisah sedih mana lagi yang bakal hamba jalani, balada tragedi mana lagi yang hendak Engkau skenario buatku, sehingga Engkau dengan menakjubkan menunjuk aku sebagai Tokoh utama yang penuh air mata?
Kulihat mbak iparku sesenggukan di pojok rumah. Sementara Mulutku menganga tak tahu harus bilang apa. Tersumpal balada hidup yang tak kunjung usai. Tertahan air mata disudut mata lemahku, namun tersungging senyum pahitku...
Allahu akbar
Innama asyku batsi wa huzni ilallah
Setetes air mata ku seka dengan La yukallifullohu nafsan illa wus-aha...
Kapankah kebahagiaan dapat ku genggam dalam rengkuhku?
(Kisah nyata sahabat penulis, Sumber: CAP Cerita Anak Pesantren, Jun Haris)
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar