Namanya Az Zamakhsyari. Ia seorang ulama
terkenal, ahli dalam banyak ilmu pengetahuan agama. Namun, ia lebih
terkenal sebagai tokoh ilmu nahwu (gramatika bahasa Arab).
Menjadi ahli dalam ilmu bahasa bagi Az Zamakhsyari
adalah keberhasilan yang boleh dibilang sebagai prestasi dan kesuksesan
luar biasa dalam menghadapi rintangan. Betapa tidak, sejak kecil ia
telah mempelajari ilmu nahwu, tetapi hingga menginjak remaja ia tak
kunjung paham dengan ilmu yang dipelajarinya.
Bayangkan, selama
bertahun-tahun belajar untuk membedakan antara subyek (mubtada) dan
obyek (khabar) saja ia tidak bisa. Tak paham mana kata benda (isim) dan
mana kata kerja (fi'il). Sementara teman-temannya, hampir semuanya telah
mengusai ilmu itu. Bahkan ada di antara mereka yang diberi tugas untuk
mengajar adik-adik kelas mereka.
Kenyataan ini nyaris membuat
Az-Zamakhsyari putus asa. Ia merasa malu dengan usianya yang semakin tua
tetapi belum tahu apa-apa, apalagi ia harus duduk dan belajar bersama
anak-anak yang jauh di bawah usianya.
Di tengah kegalauannya,
ia pun meninggalkan pesantren di mana sekarang ia diami, pergi merantau
untuk mencari ilmu di tempat lain. Tanpa pamit pada sang kyai. Karena
jelas nantinya pak kyai tak akan memberinya izin.
Setelah cukup
jauh berjalan, ia mampir berteduh di sebuah rumah. Ketika sedang
beristirahat sambil menyandarkan punggungnya di tembok, ia melihat
seekor semut kecil sedang menggigit sisa kulit korma. Semut itu berusaha
menarik kulit korma yang ukurannya lima kali lipat lebih besar dari
tubuhnya, ia tarik dengan mulutnya ke lubang di tembok itu. Berkali-kali
ia melakukannya namun selalu gagal, kulit korma selalu jatuh ke tanah.
Az-Zamakhsyari terpaku melihat kelakuan semut itu, yang mempunyai
keuletan dan kegigihan yang mengagumkan. Setelah berkali-kali gagal,
ternyata sang semut akhirnya berhasil membawa naik kulit korma itu
dengan cara dipotong kecil-kecil seukuran mulut mungilnya.
Saat itu muncullah pemikiran dalam benak Az-Zamakhsyari,
“Seandainya aku melakukan seperti yang dilakukan semut ini, niscaya aku juga akan berhasil.”
Setelah mengucapkan itu, ia pun menyesal perbuatannya lari dari
pesantren. Dia memutuskan untuk kembali ke pesantrennya dan membatalkan
niatnya untuk merantau. Ia pun menyesali perbuatannya di hadapan pak
kyai. Dan berjanji tak akan mengulanginya lagi. Ia bertekad tak akan
kembali ke rumah sebelum menguasai ilmu-ilmunya pak kyai.
Hasilnya, dalam waktu tak lebih dari 3 bulan, ia pahami ilmu di
pesantren itu sedikit demi sedikit hingga sang kyai pun akhirnya
menunjuknya sebagai wakilnya (badal) menggantikan sang kyai ketika sang
kyai udzur. Inilah ilmu, seperti semut membawa kulit kurma.
Az-Zamakhsyari akhirnya benar-benar meraih impiannya. Ia menguasai
ilmunya sedemikian rupa. Bahkan, ia menjadi tokoh nahwu yang sangat
disegani.
Cita-cita yang luhur, yang di dalamnya terkandung
tekad, semangat dan kerja keras, memang seringkali membuat orang tidak
mau berhenti. Bahkan, seekor semut pun, menghayati semangat ini. Apalagi
kita, manusia yang telah dimodali akal, pikiran dan perasaan. Harusnya
lebih dari semut yang mengandalkan insting belaka.
(Sumber : CAP Cerita Anak Pesantren, Karya Jun Haris)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar