Kamis, 20 Desember 2012

SANTRI DAN SEMUT

Namanya Az Zamakhsyari. Ia seorang ulama terkenal, ahli dalam banyak ilmu pengetahuan agama. Namun, ia lebih terkenal sebagai tokoh ilmu nahwu (gramatika bahasa Arab).

Menjadi ahli dalam ilmu bahasa bagi Az Zamakhsyari adalah keberhasilan yang boleh dibilang sebagai prestasi dan kesuksesan luar biasa dalam menghadapi rintangan. Betapa tidak, sejak kecil ia telah mempelajari ilmu nahwu, tetapi hingga menginjak remaja ia tak kunjung paham dengan ilmu yang dipelajarinya.

Bayangkan, selama bertahun-tahun belajar untuk membedakan antara subyek (mubtada) dan obyek (khabar) saja ia tidak bisa. Tak paham mana kata benda (isim) dan mana kata kerja (fi'il). Sementara teman-temannya, hampir semuanya telah mengusai ilmu itu. Bahkan ada di antara mereka yang diberi tugas untuk mengajar adik-adik kelas mereka.

Kenyataan ini nyaris membuat Az-Zamakhsyari putus asa. Ia merasa malu dengan usianya yang semakin tua tetapi belum tahu apa-apa, apalagi ia harus duduk dan belajar bersama anak-anak yang jauh di bawah usianya.

Di tengah kegalauannya, ia pun meninggalkan pesantren di mana sekarang ia diami, pergi merantau untuk mencari ilmu di tempat lain. Tanpa pamit pada sang kyai. Karena jelas nantinya pak kyai tak akan memberinya izin.

Setelah cukup jauh berjalan, ia mampir berteduh di sebuah rumah. Ketika sedang beristirahat sambil menyandarkan punggungnya di tembok, ia melihat seekor semut kecil sedang menggigit sisa kulit korma. Semut itu berusaha menarik kulit korma yang ukurannya lima kali lipat lebih besar dari tubuhnya, ia tarik dengan mulutnya ke lubang di tembok itu. Berkali-kali ia melakukannya namun selalu gagal, kulit korma selalu jatuh ke tanah.

Az-Zamakhsyari terpaku melihat kelakuan semut itu, yang mempunyai keuletan dan kegigihan yang mengagumkan. Setelah berkali-kali gagal, ternyata sang semut akhirnya berhasil membawa naik kulit korma itu dengan cara dipotong kecil-kecil seukuran mulut mungilnya.

Saat itu muncullah pemikiran dalam benak Az-Zamakhsyari,
“Seandainya aku melakukan seperti yang dilakukan semut ini, niscaya aku juga akan berhasil.”

Setelah mengucapkan itu, ia pun menyesal perbuatannya lari dari pesantren. Dia memutuskan untuk kembali ke pesantrennya dan membatalkan niatnya untuk merantau. Ia pun menyesali perbuatannya di hadapan pak kyai. Dan berjanji tak akan mengulanginya lagi. Ia bertekad tak akan kembali ke rumah sebelum menguasai ilmu-ilmunya pak kyai.

Hasilnya, dalam waktu tak lebih dari 3 bulan, ia pahami ilmu di pesantren itu sedikit demi sedikit hingga sang kyai pun akhirnya menunjuknya sebagai wakilnya (badal) menggantikan sang kyai ketika sang kyai udzur. Inilah ilmu, seperti semut membawa kulit kurma. Az-Zamakhsyari akhirnya benar-benar meraih impiannya. Ia menguasai ilmunya sedemikian rupa. Bahkan, ia menjadi tokoh nahwu yang sangat disegani.

Cita-cita yang luhur, yang di dalamnya terkandung tekad, semangat dan kerja keras, memang seringkali membuat orang tidak mau berhenti. Bahkan, seekor semut pun, menghayati semangat ini. Apalagi kita, manusia yang telah dimodali akal, pikiran dan perasaan. Harusnya lebih dari semut yang mengandalkan insting belaka.

(Sumber : CAP Cerita Anak Pesantren, Karya Jun Haris)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar