Rabu, 17 Oktober 2012

TENTARA MASUK PESANTREN

Tak sengaja, sampailah Ibrahim bin Adham pada sebuah pasar di tengah kota Bashrah. Pasar yang begitu becek akibat terguyur hujan malam tadi. Pedagang-pedagang sangat berterima kasih atas kehadirannya di tengah-tengah mereka. Semua saling berkeroyokan berebut menyalaminya. Bagaimana tidak bangga, Ulama agung yang selama ini menjadi panutan hadir dan mau bertemu bermasyarakat, bertutur sapa dan duduk bersama.

Di tengah-tengah keasyikan mereka, sekumpulan tentara berjalan tegap dan berbaris rapi di atas tanah yang sedikit tergenang air. Para pedagangpun segera minggir supaya tidak tertabrak tentara-tentara muda itu. Tangan serempak yang terayun menimbulkan bunyi yang selaras. Sang komandan begitu antusias sekali menunjukkan kegagahan mereka di tengah pasar.

Hap.. Hap kiri kanan
Hap.. Hap kiri kanan

Tak peduli, Crat.. Crat air jalanan becek injakan kaki mereka muncrat kesana kemari mengenai baju, pakaian dan makanan yang dijajakan oleh para pedagang kota bashrah. Para pedagang dengan dongkol hanya bisa memadangi mereka dilambari rasa jengkel pada tentara pengaman itu. Merasa dipandangi, sang komandan memberhentikan pasukannya.
"Pasukan.. Berhentiii... Grak!"

Tanpa lama sang komandan muda itu segera mendekati kaum pedagang yang bajunya pada belepotan tanah liat becek yang terciprat.

"Apa kamu melotot saja! Gak terima kena cipratan tanah becek hah? Kalau gak terima, sana... Pergi saja dari sini, jangan jualan di kota bashrah."

Plak.. PLak

Dua pukulan tangan komandan itu melayang di pipi salah seorang yang bergerombol di pinggir jalan. Ia hanya diam saja sambil memandangi sang tentara muda dengan senyum. Dengan ramah orang tua itu berkata,
"Tuan seharusnya sebagai pelindung para pedagang bukan malah menakut-nakuti. Tuan seharusnya memberikan keuntungan bagi para pedagang dengan tugas anda sebagai tentara pengaman, bukan memberi kerugian dengan mengotori dagangan mereka. Bayangkan siapa yang mau membeli makanan yang berlumuran dengan lumpur?
Betapa banyak kerugian mereka karena dagangan tak laku dan terbuang percuma. Bayangkan kalau diri anda adalah pedagang, atau bayangkan bahwa diri anda adalah putra dari pedagang seperti mereka. Apa yang ada dalam pikiran anda, Anda susah apa senang?"

Setelah berucap demikian orang tua itu segera berlalu. Ucapan itu begitu menghujam dalam hati komandan muda. Ia pun kemudian bertanya pada salah seorang pedagang.
"Hai fulan, kamu tahu siapakah orang tua itu?"
Dengan rasa tak senang pedagang itu menjawab, "Dia adalah Tuan Ibrahim!"
"Ibrahim siapa? Di bashrah ini ratusan bahkan ribuan orang bernama Ibrahim!"
"Ibrahim bin Adham!"

Para pedagangpun segera bubar. Kini tinggal ia dan pasukannya terbengong-bengong. Tak menyangka bahwa ia bisa bertemu dengan ulama besar daerahnya. Namun apa yang dilakukan bukan malah menghormati dan menyalami tapi menampar muka orang yang selama ini menjadi penerang hidupnya melalui teladan dan petunjuknya.

"Siapa diantara kalian yang mengetahui rumah Tuan Ibrahim bin adham?" tanya sang komandan pada pasukannya.
"Saya tahu pak!" jawab salah seorang tentara.
"Di mana?"
"Pinggiran kota pak!"
"Bisa antarkan saya ke rumahnya?"
"Siap pak!"

Esok harinya, dua tentara muda mendatangi ibrahim. Mereka duduk bersila di depan gerbang pesantren dengan berpakaian lengkap ala tentara. Rambut cepat. Dari pagi hingga dzuhur dua tentara itu tak beringsut dari duduknya. Salah seorang santri yang kebetulan tahu segera melapor. Ibrahim bin adham bangkit dari duduk dan menghampiri pintu gerbang dan terjadilah dialog komandan dan ibrahim bin adham.
"Gerbang kami tak berpintu, kenapa tuan tidak masuk saja? Pesantren dan masjid ini milik semua muslim jadi tuan tak usah sungkan-sungkan di sini. Anggap saja di rumah sendiri."
"Kami akan terus bersila di sini sampai tuan memaafkan kami!"
"Bangkitlah kalian berdua, aku sudah memaafkan sebelum kalian datang kemari."
"Kenapa tuan begitu mudah memaafkan, padahal kami berbuat biadap kepadamu?"
"Karena Mukmin tak baik jadi pemarah dan pendendam. Pemaaf adalah kekasih Tuhan, hati tentram dan hidup pun dapat dilalui dalam kedamaian menuju surga dunia dan akherat. Sedangkan Pemarah dan pendendam adalah kekasih setan, hidupnya tak akan nyaman dan hanya ada permusuhan yang akan membawa ke neraka. Ayo bangkitlah kalian berdua, nanti tubuh kalian kotor."
"Kami belum akan bangkit, sebelum tuan guru menerima kami sebagai santri tuan."
Aku bisa saja menerima kalian, tapi bagaimana dengan tugas kalian sebagai tentara?"
"Izinkan kami tinggal di pesantren yang tuan asuh. Pagi kami berangkat tugas sebagai tentara, malam hari kami mengaji."
Baiklah kalau itu kemauan tuan-tuan, kami dengan bangga menyambut kalian sebagai keluarga baru di sini. Semoga betah dan krasan."

Demikianlah sikap dan sifat ulama salafus shalih terhadap umat, semoga kita bisa meneladani dan mengambil hikmah.

(Sumber CAP: Cerita Anak Pesantren, karya Jun Haris)

SYUKUR DI ATAS PENDERITAAN ORANG LAIN

Sirri al-Saqothi adalah salah seorang Sufi, beliau pernah berkata, ”Sudah tiga puluh tahun aku beristighfar kepada Allah hanya karena ucapan al-hamdulillah yang keluar dari mulutku.”

Junaid Al Baghdad

y santri syeikh Sirri As Saqoty bercerita tentang gurunya. "Tentu saja banyak orang menjadi bingung dengan pernyataan guru sirri, lalu Akupun bertanya kepada beliau, ”Wahai Guru, Bagaimana itu bisa terjadi?”

Syeikh Sirri lalu berkata, ”Dulu kala, Saat itu aku memiliki sebuah toko di Baghdad. Suatu saat aku mendengar berita bahwa pasar Baghdad hangus dilalap si jago merah, aku pun tergopoh-gopoh mendengar, sebab tokoku berada tepat di tengah pasar tersebut. Aku bersegera pergi ke sana untuk memastikan apakah tokoku juga terbakar ataukah tidak?

Seseorang sesama pedagang bicara memberitahuku, ”Santai saja kang sirri, daganganmu selamat, api tidak sampai menjalar ke tokomu.”
Terbengong-bengong Aku pun mengucapkan,
”Alhamdulillah!”

Setelah itu banyak hari dan waktu hanya terpikir olehku, ”Apakah hanya engkau saja yang hidup dan berada di dunia ini? Walaupun tokomu tidak terbakar, bukankah toko-toko orang lain banyak yang terbakar. Ucapanmu: "Alhamdulilah" menunjukkan bahwa engkau bersyukur karena api tidak membakar tokomu.
Dengan demikian, engkau telah rela toko-toko orang lain terbakar asalkan tokomu tidak terbakar!"

Lalu aku pun berkata kepada diriku sendiri lagi, ”Tidak adakah barang sedikit perasaan sedih atas musibah yang menimpa banyak orang-orang dan teman-teman sesama pedagang di hatimu, wahai Sirri? Kau bersyukur di atas penderitaan orang lain!”

Junaid Al baghdady melanjutkan kisah kehidupan gurunya, "Dari kejadian kebakaran inilah kemudian syeikh Sirri mengambil dari hadits Nabi, ”Barang siapa melewatkan waktu paginya tanpa memperhatikan urusan kaum muslimin, niscaya bukanlah ia termasuk dari mereka (kaum muslimin).”
"Sudah 30 tahun saya beristighfar atas ucapan al-hamdulillah itu."

Junaid al baghdady berkata, "Akhirnya beliau keluarkan harta bendanya yang ada dan dibagikan kepada masyarakat yang terkena musibah kebakaran, terutama yatim dan fakir miskin. Beliau selalu menerima tamu dan orang-orang yang mengharap derma darinya. Banyak juga anak-anak telantar di jalanan yang hidup tak tentu arah dan tujuan, tanpa orang tua dan saudara. Mereka kemudian diasuh, diadopsi dan dibesarkannya dalam pesantren kami. Bahkan kebanyakan santri-santri di sini adalah anak-anak yatim piatu dan bekas-bekas anak jalanan yang diinsyafkan olehnya. Mereka semua di sini bagai saudara sendiri, makan, pakaian, semua fasilitas dan sarana gratis ia sediakan di pesantren ini asal mereka mau qonaah dan menerima apa adanya."

Subhanalloh...
Adakah di negeri kita yang kepeduliannya terhadap sesama menyamai Syekh Sirri Saqothi rahimahullah. Memberi makan ratusan santri tanpa harus mencari sumbangan kesana-kemari, tanpa yayasan dan akte notaris.
Jika tidak ada layaknya beliau, ada baiknya kita menjadikan sikap beliau sebagai suri tauladan.

(Sumber: CAP, Cerita Anak Pesantren, karya Jun Haris)

NIKAHKANLAH AKU......!

Seorang pemuda ganteng anak kyai yang biasa kami sebut GUS ILHAM menghabiskan banyak waktunya hanya untuk mengaji dan ibadah di pesantren kami, tak terpikir olehnya untuk menikah meski usia sudah 35 tahun. Satu ketika o
rang tua dan kerabatnya bermaksud menikahkannya, ia selalu saja menolak. Ia beranggapan bahwa kesibukannya mengurus istri dan anak-anak hanya akan mengganggu ibadahnya kepada Allah.

Gus ilham disukai banyak orang karena keshalihan dan kesosialannya pada masyarakat, dan banyak diantaranya yang ingin mengambilnya sebagai menantu. Di jaman itu, ukuran keutamaan seseorang di masyarakat adalah akhlak dan keshalehannya, tidak seperti sekarang ini meski shalih tapi tak berharta, tak punya gajian, tak punya profesi mapan maka kemana-mana akan dipandang sebelah mata. Seumpama ada yang shalih yang pekerjaannya hanya ‘sekedarnya’ mungkin hanya satu-dua orang yang berkeinginan menikahkan putrinya atas dasar KESHALIHAN.

Meski banyak sekali orang yang ingin ‘melamar’ gus ilham untuk
dinikahkan dengan putrinya, namun ia menolaknya dgn sopan dan Ia makin meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadahnya.

Suatu hari ketika bangun dari tidurnya, tiba-tiba saja pemuda itu berkata,
“Nikahkanlah aku, nikahkanlah aku!!”

Karena kayaknya gus ilham dilanda galau berat, Pak kyai dan para kerabatnya, saling berpandangan penuh keheranan. Ibu Nyai berkata pada anaknya,
“Mengapa tiba-tiba kamu minta menikah tho le, padahal selama ini kamu selalu menolaknya??”

Gus ilham menjawab,
“Dalem (saya, jawa) ingin mempunyai anak yang banyak Umi, dan ada diantara
mereka yang meninggal ketika masih kecil (belum baligh), dan saya akan bersabar karena kematiannya!!”

Sekali lagi Keluarga Ndalem dibuat kebingungan, Pak kyai dan Bu nyai berpandangan tidak mengerti, sepertinya janggal nian keinginan putranya ini. Gus ilham mengerti akan kebingungan abah dan uminya, dan ia menceritakan kalau ia baru saja bermimpi, seolah-olah kiamat telah tiba. Ia berdiri di padang Mahsyar dalam keadaan panas dan haus yang tidak terperikan, seolah-olah panas dan haus akan mematahkan lehernya. Tidak ada sesuatu yang bisa diminum untuk menghilangkan rasa haus dan panas itu, dan sepertinya ‘penderitaan’ itu akan berlangsung sangat lama.

Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba ia melihat anak-anak yang berjalan dan bergerak diantara begitu banyak orang dengan membawa gelas-gelas perak yang ditutup dengan saputangan dari cahaya. Mereka itu tengak-tengok kiri kanan mencari-cari seseorang dan ketika menemukan seseorang, mereka berikan minuman dalam gelas tersebut.

Ketika beberapa anak melewatinya, ia mencoba mengulurkan tangan meminta gelas itu sambil berkata, “Berikanlah kepadaku karena aku juga sangat haus!!”

Anak-anak itu menghalangi maksudnya, mereka memandangi gus ilham beberapa saat, kemudian berkata, “Panjenengan (anda, jawa) tidak mempunyai anak diantara kami, dan kami hanya akan memberikan minuman kepada ayah dan ibu kami!!”
Gus ilham bertanya, “Siapakah sebenarnya kalian ini!!”
Mereka menjawab, “Kami adalah anak-anak dari kaum muslimin, dan kami meninggal sewaktu kami masih kecil dan belum baligh, sementara orang tua kami bersabar dengan musibah dari Allah berupa kematian kami!!”

Setelah menceritakan tentang mimpinya Gus ilham berkata kepada Pak kyai dan Ibu nyai beserta kerabat yang mengitarinya, “Saat itu (di padang mahsyar) aku sangat menyesal dan menangisi nasibku karena aku mati sebelum mau menikah. Mungkin itu hukumanku karena ‘tidak mengikuti’ sunnah Rasulullah SAW. Saat aku menangis, tiba-tiba aku terbangun dari mimpi dan semua peristiwa itu ternyata hanya dalam mimpi, walau sepertinya sangat jelas dan terasa nyata. Karena itulah aku berteriak minta segera dinikahkan!!”

(Sumber: CAP, Cerita Anak Pesantren, Karya Jun Haris)

MATEMATIKA SAHABAT

Seorang lelaki shalih yang mempunyai 3 orang anak lelaki, istrinya telah meninggal dunia. Suatu saat sang bapak memanggil anak-anaknya dan berkata,
“Wahai anak-anakku, kalau kelak aku meninggal, hendaknya kalian tetap ru
kun berkasih sayang dan saling membantu seperti saat ini. Harta peninggalanku, hendaknya engkau bagi sesuai pesanku. Engkau yang tertua, karena telah mapan dan mempunyai penghasilan yang mencukupi, maka memperoleh seper-sembilannya. Engkau yang nomor dua memperoleh seper-tiganya. Dan engkau terkecil memperoleh seper-duanya.
Tetapi ingatlah, kalian harus tetap rukun berkasih sayang dan saling menolong satu sama lainnya. Janganlah bermusuhan hanya karena berebut harta dunia, sesungguhnya kehidupan di dunia itu hanya sesaat…!!”

Beberapa waktu kemudian lelaki tersebut meninggal dunia. Karena anak-anaknya juga shalih sebagaimana didikan ayahnya, maka setelah pemakaman ayahnya, mereka menyelesaikan segala tanggungan orang tuanya tersebut. Setelah tidak ada lagi hutang dan tanggungan lainnya, tugas mereka selanjutnya adalah membagi harta sisa peninggalan (warisan) yang memang menjadi hak mereka bertiga, seperti wasiat ayahnya sebelum meninggal dunia.

Mereka menghitung dan ternyata harta yang masih tersisa berupa 17 (tujuh belas) ekor unta untuk mereka bertiga. Tentu saja mereka kesulitan untuk membaginya sesuai dengan wasiat ayahnya, sebab harta sisa bukan berupa uang yang mudah dibagi, melainkan berupa unta.

Mereka kesana-kemari mendatangi beberapa orang pintar dan bijaksana untuk bisa membagi sesuai wasiat ayahnya, tetapi mereka tetap menemui jalan buntu.

Sampai akhirnya seseorang menyarankan untuk meminta tolong kepada khalifah Ali bin Abu Thalib radiyallahu anhu. Mereka mengirim utusan kepada Khalifah Ali dan beliau bersedia membantu kesulitan saudaranya sesama kaum muslim. Didikan Rasulullah SAW sebagai orang yang zuhud dan tawadhu, membuat Khalifah Ali dengan senang hati mendatangi tempat tinggal mereka dengan menunggangi untanya.

Setibanya di sana, mereka menceritakan permasalahannya, dan Khalifah Ali dengan tersenyum berkata,
“Bawalah unta-unta itu kemari!!”

Setelah unta-unta dikumpulkan di hadapan Khalifah Ali, beliau berkata,
“Aku tambahkan untaku dalam harta warisan ini, sehingga jumlahnya menjadi 18 (delapan belas) ekor. Wahai engkau yang tertua, ambillah bagianmu, seper-sembilannya, berarti dua ekor unta!!”
Anak yang tertua pun kemudian mengambil bagiannya dua ekor unta dengan gembira.
Kemudian Khalifah Ali berkata lagi, “Wahai engkau anak yang nomor dua, ambillah bagianmu. Sepertiganya, berarti sebanyak enam ekor unta!!”
Anak kedua pun kemudian mengambil bagiannya sebanyak enam ekor unta dengan ikhlas dan terharu.

Dan beliau berkata lagi, “Dan engkau, wahai anak yang termuda, ambillah bagianmu seper-duanya, berarti kamu mendapatkan sembilan ekor unta!!”
Anak termuda pun kemudian mengambil bagiannya sebanyak sembilan ekor unta, dan ternyata masih tersisa satu ekor lagi, dan Khalifah Ali berkata,
“Masih tersisa satu ekor, dan ini memang unta milikku tadi, maka aku mengambilnya kembali!!’

Coba anda perhatikan,
18 x 1/9 = 2
18 x 1/3 = 6
18 x 1/2 = 9
Jumlah dari 2+6+9=17
Sahabat Ali meminjamkan 1 ekor untanya supaya berjumlah 18 dan memudahkan dalam pembagian tanpa harus menyembelih unta. Karena angka 17 tak bisa buat membagi pecahan 1/9, 1/3 dan 1/2, yang dalam pembagian unta hidup dan setelah dibagipun unta supaya tetap dalam keadaan hidup. Remeh memang, tapi itu benar-benar tindakan yang luar biasa, yang luput dari pemikiran manusia manapun.

Sungguh benarlah apa yang dikatakan oleh Rasulullah SAW, “Ana madinatul ‘ilmi, wa aliyyun
baabuuha!!” (Sesungguhnya saya ini kotanya ilmu, dan Ali adalah pintu gerbangnya).

AKU TERPESONA KEJUJURANMU

“Wahai ibu, serahkanlah aku kepada Allah dan ijinkanlah aku pergi ke Baghdad untuk menuntut ilmu mukim di pesantren dan berziarah kepada orang-orang shalih di sana…!!” ungkap Abdul qadir kecil, yang kala itu berus
ia 9 tahunan.

Tentu saja sang ibu terkejut dengan sikap dan permintaan anaknya yang begitu tiba-tiba, tanpa ada tanda-tanda sebelumnya. Sang ibu berkata,
“Wahai anakku, kamu masih kecil, kenapa engkau tiba-tiba berkata seperti itu!!”

Abdul qadir menjawab, "Ketika saya bermaksud untuk menggembala sapi kita, aku berjalan mengiringinya yang berjalan di depanku. Saat itu pagi hari tepat tanggal 9 Dzulhijjah, hari Arafah yang mulia di mana kaum muslimin sedang beribadah haji bersiap-siap untuk wuquf di Padang Arafah. Tanpa saya duga, tiba-tiba sapi itu menoleh kepadaku yang berjalan mengikutinya, dan berkata,
“Wahai Abdul Qadir, engkau tidak dijadikan untuk ini, dan engkau tidak diperintahkan untuk mengerjakan ini, kau harus menuntut ilmu dan beribadah kepada-Nya!!”

Sang ibu menangis penuh haru sekaligus pilu mendengarnya, tangisan bahagia dan sedih.
Bahagia, karena ia yakin anaknya akan memperoleh derajad yang mulia di sisi Allah, sebagaimana “isyarat” yang dikandung dari peristiwa yang diceritakan anaknyanya.
Sedih, karena ia harus berpisah dengan putra kesayangannya, dan belum tentu akan bertemu di kemudian hari.
Tetapi sebagai seorang ibu yang sholihah, ia merasa bahwa sudah merupakan kehendak Allah anaknya akan menjalani kehidupan terpisah dengan dirinya, karena itu ia harus merelakan dan meridhoinya.

Pada waktu yang ditentukan, sang ibu menitipkannya pada kafilah yang akan berangkat ke Baghdad, ibunya berpesan, "Anakku, selalu berkatalah benar dan berlaku jujurlah dalam keadaan
apapun dan kepada siapapun. Berangkatlah wahai anakku, aku telah menitipkan engkau kepada Allah. Mungkin wajahmu takkan pernah kulihat lagi hingga datangnya hari kiamat!!”

Sang ibu sebelumnya memberi bekal anaknya 40 dinar dan menaruhnya pada SAKU RAHASIA di bawah ketiak anaknya.

Di tengah perjalanan, sekelompok perampok berjumlah enam puluh orang mengepung kafilah tersebut. Tak ada seorangpun luput dari penjarahan kecuali diambil dan dikuras hartanya. Tetapi Abdul Qadir kecil dibiarkan begitu saja karena ia tampak miskin dan tidak membawa apa-apa. Ternyata ada salah seorang perampok yang secara iseng bertanya, “Wahai bocah miskin, apakah kamu membawa sesuatu?”

Abdul Qadir menjawab,
“Saya memiliki empat puluh dinar!!”
“Di mana?” Tanya perampok itu.
“Terjahit di dalam saku rahasia di bawah ketiakku!!”

Tampaknya perampok itu menganggap Abdul Qadir bergurau atau hanya mengejek, karena itu ia tidak menanggapinya secara serius. Beberapa orang perampok lain yang melihatnya sempat menanyakan hal yang sama, dan Abdul Qadir kecil tidak pernah merubah jawabannya.

Ketika para perampok berkumpul di depan pimpinannya, mengumpulkan hasil jarahannya, sang pemimpin berkata, “Apakah harta mereka sudah kalian ambil semuanya?”

“Sudah semua Boss, hanya saja ada bocah miskin yang mengaku memiliki empat puluh dinar, tetapi saya tidak mempercayainya!!”

Dengan penasaran, maka sang pemimpin memerintahkan agar mendatangkan bocah itu. Abdul Qadir dihadapkan kepada sang pemimpin perampok, ia langsung berkata, “Hai bocah.. Kamu punya apa?”

Abdul Qadir menjawab,
“Saya memiliki empat puluh dinar yang dijahit di dalam saku di bawah ketiakku!!”

Sang pemimpin segera menggeledah ketiak abdul qadir, dan menemukan uang 40 dinar di bawah ketiaknya. Tapi kemudian ia tampak tercenung tak percaya melihat anak kecil di depannya. Ia berkata,
“Wahai bocah, mengapa kamu mengakui memilikinya dan tidak berbohong agar hartamu tidak kami rampas?”

Abdul Qadir kecil berkata, “Ibuku berwasiat agar aku selalu berkata benar dan berlaku jujur dalam keadaan apapun dan siapapun, dan aku tidak akan pernah mengingkari janjiku kepada beliau!!”

Pemimpin perampok itu langsung menangis mendengar kejujuran Abdul Qadir, dan berkata sambil terisak-isak, “Hai bocah, kamu tidak pernah sekalipun mengingkari janjimu kepada ibumu, sedang aku telah bertahun-tahun ‘mengingkari’ Allah, selalu menyalahi dan melanggar laranganNya!! Mulai saat ini aku bertaubat kepada Allah dan tidak akan merampok lagi, aku akan ikut kamu saja!!”

Para anak buahnya yang ikut terperangah kagum dengan kejujuran Abdul Qadir berkata kepada pimpinannya, “Engkau adalah pemimpin kami dalam kejahatan, maka engkau adalah pemimpin kami pula dalam bertaubat, kalau engkau ikut bocah ini, kami pun akan turut serta mengikutinya!!”

Para perompak yang bertaubat itu mengembalikan hasil jarahannya kepada kafilah, dan mengakui Abdul Qadir yang masih kecil sebagai guru mereka, bahkan mereka ikut menuntut ilmu di pesantren yang sama dengan abdul qadir.

(Sumber : CAP Cerita Anak Pesantren, Jun Haris)

NABI MUSA AS BERTEMU IBLIS

Suatu ketika Nabi Musa AS sedang duduk sendirian di muka rumah, tiba-tiba datang seorang lelaki dengan penampilan nyentrik dan aneh memakai topi yang berwarna-warni.

Saat tiba di hadapan Nabi Musa, lelaki it
u membuka topinya yang aneh dan mengucap salam, tetapi beliau tidak serta merta menjawab salamnya. Ada firasat tak enak dalam hati sehingga beliau tidak menjawab salamnya.

Karena terlihat aneh dan mencurigakan maka Nabi Musa pun bertanya,
“Siapakah engkau ini?”

Lelaki aneh itu pun menjawab,
“Aku iblis!!”

Benarlah apa yang dirasakan Nabi Musa sembari mengernyitkan dahi beliau berkata, “Kenapa kamu datang kemari??”

Iblis menjawab, “Untuk memberi ucapan selamat kepadamu atas terpilihnya kamu sebagai kalamullah dan atas kedudukan muliamu di sisi Allah!!”

Nabi Musa tidak mau terjebak dengan perangkap iblis yang bernada pujian tersebut, dan beliau mengalihkan pembicaraan pada hal lainnya, beliau berkata, “Untuk apa topi yang kamu bawa itu, aneh sekali bentuknya?”

“Untuk mengelabuhi manusia!!” Jawab Iblis.

“Beritahukanlah kepadaku, dosa apakah yang bila dilakukan seorang manusia, yang membuat dirimu akan mudah menguasai manusia tersebut?” Tanya Nabi Musa.

Maka iblis menjawab, “Apabila manusia itu merasa bangga bercampur sombong atas dirinya sendiri. Merasa amalnya telah banyak dan melupakan dosa-dosanya. Maka saat itulah saya dengan mudah dapat menguasainya tanpa kesulitan!!”

TERSESAT DALAM KUBUR

Seorang anak terkena penyakit cukup ganas, banyak tabib, dokter dihadirkan namun penyakit tak kunjung sembuh, tidak tahan melihat kondisi anaknya sang ibu bernadzar,
"Ya Allah.. Segala ikhtiar segala usaha telah hamba
tempuh, berbagai doa telah hamba panjatkan, bermacam cara telah hamba lakukan, tumpukan harta telah hamba korbankan demi kesembuhan buah hatiku.
Ya Allah..
Kini tak tahu kemana hamba harus melangkah, hamba tak tentu arah. Tolong hambaMu ya Allah. Tiada tali tempat bergantung kecuali taliMu, tak ada pintu yang pantas diketuk kecuali pintuMu.
Jika hamba boleh memilih, maka ambillah nyawa hamba sebagai gantinya. Namun jika hamba tak diperkenankan untuk memilih, maka sembuhkanlah dia. Apabila Engkau beri anak hamba sembuh, maka sebagai bukti kesungguhanku, hamba akan keluar dari alam dunia selama seminggu. Semoga Engkau kabulkan doa hamba."

Tak lama kemudian, Allah berikan kesembuhan pada si anak dari penyakitnya, kini ia bisa bermain-main lagi dengan temannya, tidak cacat dan normal seperti lainnya. Namun anehnya sang ibu tidak segera memenuhi apa yang telah ia nadzarkan pada Allah.

Pada suatu malam ketika ibu tidur, ia bermimpi salah seorang menegurnya agar menepati janji yang telah ia ikrarkan, dan jika ia mengingkarinya maka siksaan pedih akan ditimpakan padanya, keluarga dan anaknya. Sambil terengah-engah ia bangun dari tidur, ia berfikir bagaimana caranya untuk memenuhi janjinya.

Pada pagi hari ia bercerita kepada keluarganya tentang nadzarnya, setelah berembug, maka semua keluarga ternyata mendukung agar nadzar tsb segera dilaksanakan.

Keluarga akhirnya menggali lubang kuburan di belakang rumah untuk ibu muda yang baru beranak satu, setelah selesai semuanya sang ibu masuk ke dalam liang kubur lengkap dengan accesoris mayat, mata, hidung, telinga dan jumlah 9 lubang dalam tubuhnya ditempel dengan kapas dan hanya mengenakan kain kafan.

Tak lama setelah sempurna proses penguburan, si ibu duduk bersila menghadap kiblat. Mulutnya komat-kamit membaca tahlil, tahmid, tasbih, takbir dan shalawat. Jari-jarinya bergerak-gerak seperti memutar tasbih, tubuhnya meliuk ke kanan ke kiri mengikuti irama dzikirnya.

Mendadak wajahnya seperti menangkap cahaya dari arah depan. Cahaya itu makin lama semakin menambah penasaran. Segera ia membuka kapas penutup matanya. Ia melihat lubang kecil yang semakin lama semakin membesar, menampilkan pemandangan luas hingga tak nampak lagi bahwa ia berada dalam lubang ukuran 2 meter.

Lalu ia mencoba melangkah ke pemandangan indah itu dan di sana ia mendapati sebuah kebun yang indah, luas tanpa batas yang hanya dihuni oleh dua orang
wanita berpakaian dan berkerudung putih-putih.

Dengan hati-hati ibu muda itu menyapa sambil mengucapkan
salam kepada keduanya.
"Assalamu 'alaikum."

Mereka berdua diam tidak menjawab salamnya, mereka hanya tersenyum.
Sang ibu muda bertanya:
"Maaf bu.. Kenapa kalian berdua tidak menjawab salam saya?"

Mereka menyalami tangan sambil menjawab: "Kita sudah tidak dituntut untuk menjawab salam (di akherat sudah tidak ada kewajiban sebagaimana di dunia).

Lalu si ibu bertanya lagi, "Memang di sini daerah mana bu, masuk kabupaten apa?"

Lagi-lagi mereka berdua tersenyum melihat ibu muda itu takjub melihat pemandangan di situ.
"Kamu lupa sama aku, perhatikan baik-baik. Aku ini istrinya mbah abdullah, yang ini istri mbah hadi, teman jamaah di masjid. Kamu pangling ya?" Tanya mereka

Sejenak jantung ibu muda ini berdetak, "Lho kalian berdua kan sudah mati. Lagian kok lebih muda kalian dibanding aku. Padahal jamaah di masjid dulu sampean udah tua-tua banget?
Lalu kenapa ada perbedaan antara kalian berdua, istri mbah abdullah memakai mahkota dan istri mbah hadi di atas kepala ada seekor burung yang terus menerus mematuk kepala?"

Wanita pertama istri mbah abdullah menjawab: "Aku di dunia adalah wanita solihah dan ketika aku meninggal dunia suamiku rela denganku karena aku selalu taat kepadanya."

Wanita yang kedua menjawab: "Sementara aku adalah wanita sholihah di dunia namun ketika aku meninggal dunia, suamiku dalam keadaan murka kepadaku karena aku sering membantah perkataannya dan tidak taat kepadanya, maka tolonglah aku. Jika kamu kembali ke dunia mintakan maaf kepada suamiku, katakan kepadanya keadaanku yang sebenarnya di sini."

Tak lama si ibu mendengar panggilan suami dan anaknya yang telah menjemputnya untuk keluar dari liang kubur setelah 7 hari ia di sana, maka si ibu keluar dan kembali ke rumahnya, banyak sekali yang mengunjunginya dan diantaranya tetangga ada pula hadir mbah hadi suami wanita yang meminta tolong untuk dimintakan kerelaan suaminya.

Mendengar cerita sang ibu muda, mbah hadi menangis sambil berkata: "Memang benar, aku dulu sempat murka kepada dia bahkan sampai ia meninggal, akan tetapi sekarang aku telah merelakannya."

Pada malam harinya si ibu bermimpi bahwa wanita yang semula dipatuk kepalanya oleh burung sekarang telah bebas dari siksaan itu berkah kerelaan suaminya.

(Sumber: CAP Cerita Anak Pesantren, Karya Jun Haris)

MISIK DARI SURGA

Ketika Nabi Adam alaihi salam diturunkan oleh Allah dari surga ke permukaan bumi, maka lepaslah segala accesoris, perhiasan dan mahkota tubuhnya dan dari tubuh hawa istrinya. Mereka kemudian telanjang dan dikarenakan malu,
maka pada saat turun itu juga mereka berdua menutupi auratnya dengan menggunakan beberapa daun-daunan yang tumbuh di surga. Hingga turun ke dunia pun, daun-daunan itu tetap menempel menutupi auratnya.

Mendengar kabar bahwa seorang khalifah diturunkan ke bumi, sepasang kijang datang mengunjungi berharap keberkahan dan ingin mengabdi sepenuhnya pada beliau. Namun mereka terkejut melihat sang junjungan hanya berpakaian dari daun, hingga akhirnya diutarakanlah maksud kedatangan mereka, yakni menyambut suka cita kedatangan nabi Adam dan istrinya. Sepasang kijang tsb berjanji akan mengabdi pada mereka.

"Wahai Nabiyullah adam, hamba berdua ingin menanyakan satu hal, bila itu diperkenankan! Kata kijang jantan.
"Katakanlah hai kijang!"
"Hamba mohon maaf atas kelancangan hamba dengan pertanyaan ini. Menurut firasat dan insting hamba, Anda adalah seorang nabiyullah, khalifatullah, kekasih Allah dan penghuni surga. Yang mana penghuni surga seharusnya memakai perhiasan yang indah, pakaian yang indah dan mengapa Anda berdua bahkan hanya memakai daun sebagai penutup aurat."

Kemudian nabiyullah Adam alaihi salam menceritakan awal mula mereka digoda iblis hingga akhirnya mereka harus di hukum pembuangan ke bumi.

Tanpa sadar, air mata kedua kijang itu menetes tak kuasa menahan haru. Siti hawa memeluk keduanya untuk melerai tangis mereka. Sedalam-dalamnya mereka ungkapkan rasa bela sungkawa kepada Siti hawa dan suaminya karena turun dari surga akibat tipu daya iblis laknatullah.

Atas segala niat yang terpuji dari sepasang kijang tsb, Nabi Adam alaihis salam kemudian memberikan hadiah sehelai daun yang dari surga sebagai rasa terima kasih atas perhatian dan belas asihnya mau mengunjungi dengan niat yang solihah. Dengan linangan air mata, kedua kijang itu memakan daun surga hadiah nabi adam dan istrinya.

Setelah berpamitan, sepasang kijang tsb berangkat pergi ke hutan dengan harapan sore nanti bisa membawakan nabi adam dan istrinya buah-buahan segar dari hutan.

Namun hal aneh terjadi, setelah memakan daun surga tubuh kedua kijang mengeluarkan bau dan aroma yang wangi atau biasa disebut "misik".

Melihat kijang punya keistimewaan, para hewan yang lain menjadi iri dan ingin memiliki seperti yang dimiliki kijang lalu mereka datang menuju Nabi Adam dan meminta daun penutup auratnya, mereka datang bukan dengan niat yang baik seperti kijang, akan tetapi dengan niat ingin berkulit indah dan wangi seperti kijang.

Melihat niat mereka yang tidak baik, maka Nabi Adam pun mengusir mereka dan tidak memberikan mereka sehelai daun pun.

Niat yang baik akan dibalas Allah dengan kebaikan dan keberkahan hidup. Maka jangan ragu-ragu untuk berniat baik kepada siapapun, kapanpun dan dimanapun meskipun anda belum bisa melakukannya.

(Qishasul Anbiya')

SUSAHNYA SAAT ISTRI NGIDAM

Wuhaib bin Al-Warrad menceritakan, “Kami mendengar kalau ‘Umar bin Abdul Aziz telah mendirikan rumah penyimpan bahan makanan yang khusus diperuntukkan bagi fakir miskin dan ibnu Sabil.

Lalu, pada suatu hari, ‘Umar melakukan inspeksi ke rumah bahan makanan tersebut dan ternyata di situ dia bertemu dengan seorang pelayan wanitanya yang sedang membawa mangkuk beirisi secangkir air susu.

‘Umar bertanya kepadanya, “Apa ini?”

Pelayannya menjawab, “Istrimu, Fathimah, sedang hamil dan dia menginginkan secangkir air susu. Jika perempuan yang sedang hamil menginginkan sesuatu, tetapi tidak dituruti, dikhawatirkan janin yang dikandungnya akan keguguran. Oleh karena itu, saya mengambil secangkir air susu dari sini.”

Kemudian, ‘Umar mengambil mangkuk itu dari pelayannya, lalu berjalan menuju istrinya sambil berkata dengan suara keras, “Seandainya yang ada dalam perutnya (janinnya) itu tidak mau makan kecuali dari makanan orang-orang miskin dan fakir… Demi Allah saya tidak akan memberi dia makanan!!!

Kemudian, ‘Umar masuk ke kamar istrinya. Istrinya pun bertanya, “Apa yang terjadi denganmu?”

‘Umar menjawab, “Dia (pembantu itu) menyangka kalau bayi yang kau kandung itu tidak mau makan kecuali hanya dari makanan orang-orang fakir dan miskin. Seandainya dia tidak mau makan kecuali hanya dari makanan itu… Demi Allah, saya tidak akan memberikan makan kepadanya.”

Istrinya berkata kepada pelayan tadi, “Celaka kamu, kembalikan air susu itu ke tempatnya. Demi Allah, saya tidak akan mencicipinya.”

Wuhaib bin Al-Warrad berkata, “Kemudian, pembantunya mengembalikan airu susu itu ke tempat penyimpanan makanan bagi kaum fakir dan miskin.”

(Sumber Hilyatul Auliya')