Kamis, 20 September 2012

NAMAKU HUSAIN

Aku terlahir dalam ruang lingkup keluarga dan lingkungan islami. Bapak dan ibuku alumni pondok pesantren besar di daerah kediri jawa timur. Sehingga kini, aku pun menjadi santri di pesantrennya. Itung-itung penerus perjuangan
.

Setelah menamatkan Imrithi, Alfiyah, Jauharul Maknun, balaghah, Mantiq dan pelajaran-pelajaran lain untuk kelas 3 tsanawiyah diniyah di pesantren, aku diangkat menjadi salah seorang musyawirin. 9 tahun lamanya kehidupan di pesantren aku jalani, kini aku pulang dan bertempat tinggal di rumah bersama bapak dan ibu.

Seminggu sekali aku tetap usahakan untuk ke mbah kyai pesantrenku. Dan sekaligus laporan atas tugas yang diembankan padaku, yaitu mendidik anak-anak TPA TPQ dan pengajian ibu-ibu desa serta pembelajaran shalat pada bapak2 dan ibu2 yang masih minim pengetahuan agama.

Ibu-ibu di pengajianku, terkadang nyeletuk tanya kenapa aku tidak segera menikah sementara usia sudah kepala 3. Aku hanya tersenyum meski dalam hatiku menangis mendengar celetukan mereka.

Jamaah di pengajianku pun makin bertambah, aku tak tahu sebabnya. Tapi salah satu ibu bilang bahwa selain ngajinya mudah dicerna, ustadz husain orangnya ganteng lho..
(Bukan riya lho ya, itu kata mereka, para ibu-ibu dan cewek2 desa.)

Orang boleh bilang apa saja, ganteng, tampan atau macho, aku tak perduli. Yang penting aku bisa mentasharufkan dan memanfaatkan ilmu di daerahku. Orang sekarang gak cukup modal ilmu dan tampang, buktinya sampai sekarang aku selalu tersisih dalam hal menikah.

Aku hanya anak desa di pinggiran gunung wilis, pagi aku ke tegal membantu ortu, entah itu Ngarit (cari rumput makanan sapi), atau kerja apapun aku gak gengsi. Lepas dzuhur aku ke pengajian yang berjarak 4 KM, ku tempuh dengan sepeda ontel.

Yach itulah kegiatanku sehari-hari. Hingga suatu hari akupun dipanggil untuk sowan kepada mbah Kyai.

"Husain, Kamu sudah pengin menikah?"
"Injih kyai."
"Begini Le.. Tadi malam ada sepasang suami istri datang kemari. Mereka minta tolong aku supaya mencarikan jodo buat anak gadisnya. Mereka mau calon mantunya anak pesantren yang pinter ngaji, dengan alasan supaya bisa membimbing putrinya. Putrinya itu kuliah di STAIN kediri, sudah skripsi lagi.
Setelah ku pikir-pikir, maka pilihanku jatuh kepadamu. Karena menurutku diantara kawan-kawan, kamulah yang paling Blater (supel), sumeh (murah senyum) dan tak gampang nesu (marah), sudah pasti kamu bisa bergaul dengan manapun, kalangan pelajar, mahasiswa dan orang umum."
"Kawula nderek kersa kemawon kyai (Saya menurut perintah kyai saja)."
"Lho ya jangan gitu tho Le.. Kamu juga harus tahu dulu siapa calonmu itu. Kamu ta'aruf aja dulu ke rumahnya. Sebab orang tuanya juga pengin tahu kamu, husain itu yang mana tho. Mereka sudah menunggu kamu sin. Ahad kamu berangkatlah ke rumahnya. Restu ku bersamamu."

Akupun pamitan, tak lupa mbah kyai memberikan secarik kertas berisikan alamat orang yang diceritakan mbah kyai tadi.

Esok hari, seusai dari tegalan. Aku pun berpakaian rapi, kopyah hitam, baju koko warna putih, celana hitam dan tak lupa minyak wangi kasturi favoritku. Dan dengan berbekal harapan, keyakinan dan restu dari guru, aku kayuh sepeda ontelku ke kota, mengingat alamat yang tertera berada di pusat kota. Besar harapanku untuk segera mengakhiri masa lajangku dgn menikah. Bapak ibu sudah tua, butuh hiburan hadirnya seorang cucu manis pelipur lara.

Bismillah..
Aku kayuh
Suara Kretek kretek.. Sebagai tasbih di jalanan yang mulai menyengat kulit. Shalawat nabi tak pernah lepas dari mulutku..
Allohumma sholli ala muhammad..

Setelah tanya kanan kiri, akhirnya sampai juga aku di tujuan. Aku terkejut setengah tak percaya, rumah itu begitu besar. Aku bingung di mana harus mengetuk pintu sebab rumahnya berpagar. Aku beranikan diri memencet bel di gapura. Tampak keluar lelaki setengah baya membuka pintu pagar.
Akupun uluk salam. Dan dijawabnya dengan pandangan curiga saat kusandarkan ke pagarnya.

"Hai mas.. Jangan di sandarkan di situ, nanti catnya rusak."
Akupun tersenyum sambil menyandarkan sepeda di bawah pohon akasia pinggiran aspal. Kemudian aku menghampirinya lagi.
"Apa benar ini rumah Pak...?"
"Ya betul saya sendiri, emang sampeyan siapa dan ada apa kemari mas?"
"Saya utusan dari mbah kyai..."
"Ooo.. Jadi kamu.."
Sambil dia mengamati aku, menyisir dari kaki sampai kepala. Kemudian beralih mengamati sepeda ontelku.
"Katakan apa yang di pesankan mbah kyai kepadamu?"
"Saya diperintahkan ke sini untuk memenuhi undangan bapak, katanya urusan ta'aruf dengan putri bapak. Bapak katanya mau cari mantu?"
"Iya sich... Tapi gak miskin kayak kamu tu.."

Brak..
Ia pun menutup pintu pagarnya. Aku tertegun di mulut pintu pagar. Aku putar sepeda dengan harapan hancur. Perasaanku amburadul di tolak mentah2 hanya alasan sepeda ontel dan kemiskinan. Kayuhan sepeda penuh linangan air mata. Aku tak tahu harus berbuat apa selain la haula wala quwwata illa billah...

Apakah orang miskin tak boleh menikah?

(Kisah nyata sahabat penulis.. Sumber: CAP Cerita Anak Pesantren, Jun Haris)

Bersambung..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar