Kamis, 20 September 2012

NAMAKU HUSAIN V

Aku berjanji dalam hatiku, apabila nanti telah menikah takkan pernah ku biarkan istriku lakukan pekerjaan berat. Wanita bukanlah pekerja tapi dia adalah guru bagi anak-anakku. Akan aku hormati dia sebagai layaknya gu
ru. Aku mulyakan dia seperti layaknya wali murid menghormati kepala sekolah anaknya. Guru anakku, hanya boleh mengajar dan mendidik, tak boleh mencuci pakaian ataupun memasak untuk wali murid, namun wali muridlah yang melakukan semua itu. Aku memandang istriku bukan atas dasar dia wanita, tapi atas dasar Guru Anak-anakku.

Aku di rumah mertua telah 3 hari lamanya. Namun tak pernah ku jumpai dia di rumah ini. Warga rumah inipun tak ku ketahui dan ku kenal kecuali pak gunawan. Hingga karena panik, akupun berinisiatif mencarinya. Kemana gerangan dia. Apakah dia malu menampakkan diri, ataukah ia grogi?
Tapi aku bingung tanya keberadaannya, tanya siapa. Sangat malu bila tanya pak gun.

Segera ku kumpulkan keberanian, ku buang ciutnya nyali untuk bertanya pada salah seorang perempuan yang menurutku adalah adiknya fatimah. Raut muka hampir mirip tapi beda warna kulit wajah dan fisiknya.
"Maaf dik, sejak saya di sini, saya belum bertemu fatimah, sampean tahu dimana dia?"
Dia hanya tersenyum, "Orangnya tiap hari ada di sini mas, gak kemana-mana?"
"Saya sudah mencarinya tapi tak ada."
"Mas saja yang kurang jeli."
"O ya sudah, nanti akan saya cari lagi, matur suwun ya."

Di hari ke 5, mbah kyai datang ke rumah. Ketika aku masuk rumah, beliau sedang asyik ngobrol dengan pak gun dan adiknya fatimah. Aku menyalaminya dan kemudian duduk di sebelah pak gun, mertuaku. Aku diam menunggu apa yang akan dikatakannya.
"Sin, anak ini bilang katanya kamu bingung nyari fatimah?" sambil menunjuk pada adiknya fatimah.
"Bukan begitu pak dhe, dia sendiri saja yang kurang jeli."

Aku diam. Memperhatikan kelakar mbah kyai dan adik fatimah. Kok bisa akrab banget ya..dia panggil mbah kyai dgn sebutan "pak dhe."

Ucapan mbah kyai segera membuyarkan diamku.
"Ya kamu itu nduk yang keterlaluan. Sana cepat minta maaf sama suamimu."
Adiknya fatimah segera mendekati dan bersimpuh di depanku. Ia ambil tanganku dengan kedua telapak tangannya. Aku langsung menolak dan menariknya. Namun terlambat ia sudah memegang tanganku begitu erat.
"Maafin Fatimah ya mas. Selama ini telah bersandiwara. Saya tak bermaksud apa-apa dengan semua ini, namun aku cuma ingin tahu sampai sejauh mana mas mau menerima aku. Akulah fatimah yang tempo hari sampean nikahi. Terus terang saja, waktu ta'aruf saya cuma eksen berkaki pincang, aslinya ya begini mas, kakiku sehat wal afiat. Wajahku memang sengaja ku lumuri sesuatu supaya kelihatan jelek di mata sampean. Fatimah minta maaf ya mas. Saya cuma menggoda saja kok. Aku dzohir batin dari sabang sampai merauke, ikhlas menjadi istrimu."

Akupun Tersenyum geli melihat fatimah menangis mencium tanganku. Ternyata pinter juga taktik cewek ini pikirku. Selain pinter wajahnya juga cantik. Kini baru ku tahu ia ingin sekedar mengujiku, apakah aku menikahinya berdasar NAFSU atau tidak. Berdasar kecantikan atau kejujuran hati. Dan akhirnya semua tahu, bahwa husain menikahi fatimah bukan karena kecantikan atau hal lain. Namun karena keikhlasan. Kecantikan bukan jaminan rumah tangga akan bahagia, namun suara hati dan tuntunan ilahi jua yang akan membawa keberkahan.

Mbah kyai kemudian juga memberi penjelasan, bahwa beliau tak lain adalah kakak kandung ibunya fatimah, dan fatimah adalah keponakannya.

Lengkap sudah kebahagiaan saat 2 tahun pernikahanku, seorang bayi mungil menjadi qurratul ain di tengah keluarga. Dan janjiku tetap ku tepati, fatimah aku larang memasak dan mencuci pakaian, aku sendiri yang mencuci dan memasak untuknya. Meski dia terkadang masih bandel diam-diam ke dapur untuk memasak sebagai penghilang kejenuhan sebagai pengajar TPA TPQ dan ustadzah pengajian ibu-ibu. Alhamdulillah, istriku bukanlah manja tapi dengan ini semua ia semakin patuh pada suami.

* Terima kasih buat, Ustadz Bahruddin, Ustadz Hasan, Ustadz Husain dan Ustadzah Fatimah yang telah sudi menjadi narasumber, memberikan sebuah cerita indah untuk kami (penulis). Semoga bermanfaat

Tamat

(Dikutib dari buku CAP, Cerita Anak Pesantren, Karya Jun Haris)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar