Suara iqamat dari masjid mulai mengumandang, tanda shalat shubuh akan
segera dimulai. Tampak sepasang kaki dalam kegelapan bergegas memakai
bakiak, berlari-lari kecil ke arah masjid, itulah kaki Ning Ana putri
pak kyai, yang telah... 3 tahun telah dinikahkan dengan salah satu
murid abahnya sendiri. Namun dalam 3 tahun ini, pak kyai belum ada
tanda-tanda mau menimang seorang cucu.
Setelah salam dan dzikir
sehabis shalat, pak kyai memberi pelajaran kepada santri-santrinya,
hingga matanya tertuju pada pojokan masjid, tempat favorit di mana
menantunya mendengar pengajian darinya.
Menantunya adalah santri
yang pendiam, alim dan tenang dalam bicara. Berwajah biasa tak ada yang
istimewa.
"Suamimu ke mana An, kok tidak hadir?" tanya pak kyai
pada anaknya.
"Sakit perut kali, bah!" jawab Ning Ana yang disambut
cekikikan para santri putra putri di dalam masjid.
"Ya sudah, kamu
panggil sana!" perintah pak kyai pada salah satu santri putra.
Dan segera santri tsb berangkat ke rumah ning Ana yang hanya 35 meteran
dari masjid. Hanya dalam waktu 5 menit, sang menantunya datang ke masjid
diiringi santri suruhan pak kyai. Namun anehnya, sang menantu hanya
mendengar pengajian dari luar majelis, ia terlihat duduk seksama di
tangga masjid.
Ketika pengajian usai dan para santri sudah
bubar, sebelum pulang pak kyai dan Ning ana, berdua menghampiri
menantunya.
"Kenapa kamu gak masuk ke dalam masjid saja, Le. Kamu
sakit?" tanyanya.
"Tidak kok, abah!"
"Lalu kenapa gak ikut
jamaah subuh, gak biasanya kamu telat, kamu ketiduran? Istrimu aja ikut
jamaah, tapi kamu malah enak-enakan ngorok! Malas amat jadi lelaki."
"Tidak kok, abah?" jawab sang menantu sambil menundukkan muka.
"Dari tadi jawaban kamu, tidak tidak melulu. Lalu kenapa? Jawab yang
bener?"
Ning Ana hanya diam, sekali waktu membuang muka melihat
suaminya dimarah oleh abahnya, ada perasaan puas melihat suaminya diam
tak berkutik di depan mertuanya.
"Anu, abah... Bakiak saya
dipakai Ning Ana!" jawab sang menantu sambil menunjuk kaki ning ana.
Jawaban singkat itu membuat ning ana tak berdaya, raut mukanya
merona merah menahan malu. Belum pernah ia malu seperti ini, apalagi ini
gara-gara bakiak.
"Kenapa kamu gak pakai bakiaknya ana saja?"
"Maaf, abah. Sebenarnya mau saya begitu, tapi saya belum izin sama yang
punya. Jadi, dari pada dosa ghosob mending saya begini saja." jawab
menantunya sambil memandang kakinya yang nyeker tanpa serandal.
Jawaban yang kedua kali ini membuat ning ana tambah malu, matanya mulai
merah seperti hendak menangis.
Pak kyai bertambah bingung
melihat Ning ana yang mulai menangis, "Apa-apaan sih kalian berdua ini,
sama barang istri sendiri pakai izin segala? Ada apa ana?"
"Maafkan ana, abah! Selama 3 tahun ini, meski kami serumah, tapi kami
tak pernah bertegur sapa. Sejak akad nikah aku berkata padanya, bahwa
dia tak layak bagiku. Karena berbagai alasan aku menolaknya. Dia ku
suruh diam, pura-pura diantara kami tidak ada apa-apa, Supaya abah tidak
tahu akan hal ini. Dan itulah kata-kata pertama dan terakhirku pada mas
aris." kata ana sesenggukan
"Jadi, diam-diam kamu menolak
dengan pernikahan ini? Kamu gak mau bersuamikan dia, gitu?"
"Awalnya sih gitu, abah. Dulu ana menganggap bahwa mas aris adalah
takdir buruk yang ana terima. Mengingat ana adalah tamatan perguruan
tinggi islam dan bertitel S2 bahasa arab, sedangkan mas aris hanya
tamatan pesantren desa. Namun baru hari ini ana menyadari, bahwa pilihan
abah benar. Dia benar-benar lelaki yang bertanggung jawab dan setia,
tak pernah membuat malu dan sakit hati aku, meski aku sangat jijik
melihatnya. Aku benar-benar bersalah dan minta maaf atas kelakuan ana
selama ini pada abah, ana menxesal abah, telah mengecewakan abah dan mas
aris!"
Singkat cerita, mas aris sang suamipun dengan ikhlas
memaafkannya, setahun kemudian ning ana mulai hamil. Dan ketika aku
tulis kisah ini, mereka sudah dikaruniai 5 orang anak yang manis-manis.
Semoga kita mengambil hikmah kisah ini.
(CAP: Cerita Anak
Pesantren, Karya Jun Haris)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar