Ketika aku bicara tentang akhlak,
Beribu hati menggelegak menahan
sesak
Hatinya terkoyak rusak menampung dahak
Menghimpit marah
yang sudah menjadi kerak
... Satu kata terlontar "urus saja akhlakmu
sendiri."
Ketika aku bicara soal moral,
Beribu wajah
berpangkat binal
Tak kenal tobat tak kenal sesal
Menyeringai
melotot kesal
Satu kata terlontar "Urus saja moralmu sendiri."
Ketika aku bicara soal agama,
Mencoba menambah daya gema
Lewat
angin dan media
lewat semua dan segala warna
Lewat sms, twitter,
facebook, blog juga
Banyak mulut berkomentar "Sok ngurusin orang
lu!"
Ketika aku bicara soal keyakinan
Dalam diam dan segala
karya
Dalam ikhlas siap sedia
Dalam kepedulian dan
kebersahajaan
Beribu bibir tergetar "Sok alim Lu!"
Ketika
aku bicara tentang dakwah,
Pada setiap umur jenis usia
Muda tua
untuk berbenah
Satu kata terlontar "Carilah yang lain, Aku masih
jauh dari tanah!"
Ketika aku bicara tentang tobat
Mengarah
shirat jauh maksiat
Mengajak damai tinggalkan sesat
Satu kata
terlontar "Orang gila mulai kumat."
Ketika aku bicara tentang
ikhlas,
Ditutup atau yang jelas
Semua yang aku gagas
Datangkan senyum tak berbalas
Hanya ada mata berculas
Namun ku
yakin satu saat nanti
Pada alir dunia deras
Dari lunak atau yang
keras
Ada hati yang berbelas
Tak pandang elok dan paras
Meski Datang dari golongan tak berkelas
Satu mulut yang mampu
tersenyum "Ikhlas"
(Buah Kecil Kebahagiaan, Karya Jun Haris)
Senin, 25 Juni 2012
PILIH TETANGGA APA MUSUH?
Setelah menuntut ilmu di pesantren, seorang santri pulang ke daerahnya
di pedesaan, dan kini ia berprofesi sbg petani. Di samping rumahnya dia
mempunyai seorang tetangga yang berlainan agama dan berprofesi sebagai...
pemburu yang memelihara anjing-anjing galak dan kurang terlatih.
Karena kurang terlatih, Anjing-anjing itu sering melompati pagar dan mengejar-ngejar domba-domba si Santri.
Suatu hari anjing-anjing itu melompati pagar dan menyerang beberapa anak kambing sehingga terluka parah. Si santri itu merasa tak sabar, dan memutuskan untuk menegur, tapi ia tak enak hati untuk melukai hati tetangganya, maka pergilah si santri tsb ke pesantrennya dahulu untuk mengkonsultasikan masalahnya pada sang kyai, gurunya.
Sang kyai itu mendengarkan kisah santrinya dengan seksama dan beliau berkata,
“Saya bisa saja membantumu untuk menghukum tetanggamu yang bekerja sbg pemburu itu dan memerintahkan dia untuk merantai dan mengurung anjing-anjingnya. Tetapi di lain sisi, Kamu akan kehilangan seorang Tetangga dan mendapatkan seorang musuh. Mana yang kamu inginkan, teman atau musuh yang jadi tetanggamu?”
Sambil memandang wajah sang kyai dgn tawadu', si santri itu menjawab bahwa ia lebih suka mempunyai seorang teman.
“Baik, saya akan menawari Kamu sebuah solusi, yang mana domba-dombamu akan tetap aman dan ini akan membuat tetanggamu tetap sebagai teman.”
Mendengar solusi pak Kyai,
kang santri itu setuju.
Ketika sampai di rumah, Santri itu segera melaksanakan solusi Sang kyai. Dia mengambil sepasang anak domba terbaiknya dan menghadiahkannya kepada tetangganya yang berlainan agama itu, yang mana tetangganya tsb menerima dan berterima kasih dan sukacita atas hadiah berupa anak domba.
Untuk menjaga dombanya yang masih cempe, si pemburu itu mengkerangkeng anjing-anjingnya. Sejak saat itu anjing-anjingnya tidak pernah menggangu domba-domba kang santri lagi.
Di samping rasa terima kasihnya atas kedermawanan kang santri,
pemburu itu sering membagi hasi buruannya berupa daging kancil, rusa dan burung kepada kang santri.
Sewaktu menerima daging yang disembelih tanpa menyebut nama Allah, si santri pun bingung, mau nolak gak enak hati sama tetangga nanti dikatakan sok suci, padahal islam kan diturunkan sbg RAHMATAN LIL ALAMIN, tp mau dimakan kok haram.
Dalam kebingungan maka dimasaklah daging pemberian tsb dan dicampur dgn daging domba miliknya sendiri, dan kemudian dihadiahkanlah daging pemberian pemburu tsb kepada keluarga pemburu tanpa tersisa sedikitpun, dalam keadaan matang dan siap makan. Dan keluarga pemburu tak mengetahui bahwa daging yang mereka makan tsb adalah daging pemberian mereka sendiri.
Dan dalam waktu singkat tetangga itu menjadi teman yang baik meskipun berbeda agama dan keyakinan.
“Cara Terbaik untuk mengalahkan dan mempengaruhi orang adalah dengan kebajikan dan belas kasih.”
(CAP: Cerita Anak Pesantren, Karya Jun Haris)
Karena kurang terlatih, Anjing-anjing itu sering melompati pagar dan mengejar-ngejar domba-domba si Santri.
Suatu hari anjing-anjing itu melompati pagar dan menyerang beberapa anak kambing sehingga terluka parah. Si santri itu merasa tak sabar, dan memutuskan untuk menegur, tapi ia tak enak hati untuk melukai hati tetangganya, maka pergilah si santri tsb ke pesantrennya dahulu untuk mengkonsultasikan masalahnya pada sang kyai, gurunya.
Sang kyai itu mendengarkan kisah santrinya dengan seksama dan beliau berkata,
“Saya bisa saja membantumu untuk menghukum tetanggamu yang bekerja sbg pemburu itu dan memerintahkan dia untuk merantai dan mengurung anjing-anjingnya. Tetapi di lain sisi, Kamu akan kehilangan seorang Tetangga dan mendapatkan seorang musuh. Mana yang kamu inginkan, teman atau musuh yang jadi tetanggamu?”
Sambil memandang wajah sang kyai dgn tawadu', si santri itu menjawab bahwa ia lebih suka mempunyai seorang teman.
“Baik, saya akan menawari Kamu sebuah solusi, yang mana domba-dombamu akan tetap aman dan ini akan membuat tetanggamu tetap sebagai teman.”
Mendengar solusi pak Kyai,
kang santri itu setuju.
Ketika sampai di rumah, Santri itu segera melaksanakan solusi Sang kyai. Dia mengambil sepasang anak domba terbaiknya dan menghadiahkannya kepada tetangganya yang berlainan agama itu, yang mana tetangganya tsb menerima dan berterima kasih dan sukacita atas hadiah berupa anak domba.
Untuk menjaga dombanya yang masih cempe, si pemburu itu mengkerangkeng anjing-anjingnya. Sejak saat itu anjing-anjingnya tidak pernah menggangu domba-domba kang santri lagi.
Di samping rasa terima kasihnya atas kedermawanan kang santri,
pemburu itu sering membagi hasi buruannya berupa daging kancil, rusa dan burung kepada kang santri.
Sewaktu menerima daging yang disembelih tanpa menyebut nama Allah, si santri pun bingung, mau nolak gak enak hati sama tetangga nanti dikatakan sok suci, padahal islam kan diturunkan sbg RAHMATAN LIL ALAMIN, tp mau dimakan kok haram.
Dalam kebingungan maka dimasaklah daging pemberian tsb dan dicampur dgn daging domba miliknya sendiri, dan kemudian dihadiahkanlah daging pemberian pemburu tsb kepada keluarga pemburu tanpa tersisa sedikitpun, dalam keadaan matang dan siap makan. Dan keluarga pemburu tak mengetahui bahwa daging yang mereka makan tsb adalah daging pemberian mereka sendiri.
Dan dalam waktu singkat tetangga itu menjadi teman yang baik meskipun berbeda agama dan keyakinan.
“Cara Terbaik untuk mengalahkan dan mempengaruhi orang adalah dengan kebajikan dan belas kasih.”
(CAP: Cerita Anak Pesantren, Karya Jun Haris)
RATAPAN SEORANG AYAH
Dulu..
Aku tak pernah berharap punya anak memalukan seperti kamu. Yang hanya menimpakan aib dan sampah ke muka ayahmu ini.
Harapanku, kau anak manis berakhlak dan berbudi seperti fatimah putri nabi.
... Dulu ku Gadang dan ku timang-timang kau layaknya seorang anak yang berbakti kepadaku dan ibumu. Harapan seorang ayah pada anaknya. Tapi kini... Semua harapan orang tua renta ini hancur berkeping-keping setelah kau hamil 2 Bulan.
Huh..
Mukaku hancur tanpa rupa, hatiku remuk tak terkira, dan kehormatanku pun tercabik-cabik oleh tingkahmu yang menjijikkan.
Kini.. Ayahmu ini tak layak lagi disebut manusia. Aku hanyalah najis dan sampah yang tak tahu kemana lagi harus menaruh muka. Harapanku menjadi ayah teladan, punah sudah, angan-angan menjadi ayah yang berbangga dengan prestasi anaknya, musnah diterpa kehancuran akhlak dan moralmu.
Ya robb..
Apa salah bundanya mengandung, apa kurang aku mendukung?
Anak yang ku damba sebagai kebanggaan di akhirat, kini nyatanya hanya jadi bahan tertawaan di tengah masyarakat.
Anak yang ku damba sebagai penerus keturunan dan pejuang agama, ternyata hanya akan jadi bahan bakar neraka.
Oh ya Allah..
Kini, aku dan ibunya, hanya mampu berdiri dengan satu kaki. Tubuh kami bergerak, tapi mati hakikatnya.
Aku hidup dan bernafas, tapi bangkai hakikatnya.
Ibunya menangis air mata, tapi darah hakikatnya.
Andai saja, ia masih kecil dan nakal, mungkin aku akan jewer kupingnya. Tapi kini, jewer pun tak akan mampu menjadikannya sebagai anak yang shalihah.
Jangan biarkan ayah jelek tak punya muka ini, lebih sengsara menahan luka. Kini, harapan hidup hanya sejengkal tanah, harapan sembuh dari duka hanya isapan jempol belaka.
Hai anakku,
Kenapa tak kau tancapkan saja pisau belati ke perut ibumu? Supaya dia tak menyesal melahirkan kamu.
Kenapa tak kau hancurkan kepala ayahmu ini dengan batu, supaya ia dapat mati dengan terhormat?
Biarlah..
Allah sendiri yang menghukummu di neraka, karena kau tak patuh pada ajaranNya dan Rasulnya.
Dan kini... Tinggalkan ayah dan ibumu ini, meratapi nasib sepanjang masa. Dan jangan kau tengok lagi kalau kami sakit, sebab kau sudah menyakiti kami.
Jangan pula kau layat jenazah ayah ibumu kalau kami mati, sebab kami telah mati sebelum waktunya...
Kau telah membunuhnya.
(Buah Kecil Kebahagiaan, Karya Jun Haris)
Aku tak pernah berharap punya anak memalukan seperti kamu. Yang hanya menimpakan aib dan sampah ke muka ayahmu ini.
Harapanku, kau anak manis berakhlak dan berbudi seperti fatimah putri nabi.
... Dulu ku Gadang dan ku timang-timang kau layaknya seorang anak yang berbakti kepadaku dan ibumu. Harapan seorang ayah pada anaknya. Tapi kini... Semua harapan orang tua renta ini hancur berkeping-keping setelah kau hamil 2 Bulan.
Huh..
Mukaku hancur tanpa rupa, hatiku remuk tak terkira, dan kehormatanku pun tercabik-cabik oleh tingkahmu yang menjijikkan.
Kini.. Ayahmu ini tak layak lagi disebut manusia. Aku hanyalah najis dan sampah yang tak tahu kemana lagi harus menaruh muka. Harapanku menjadi ayah teladan, punah sudah, angan-angan menjadi ayah yang berbangga dengan prestasi anaknya, musnah diterpa kehancuran akhlak dan moralmu.
Ya robb..
Apa salah bundanya mengandung, apa kurang aku mendukung?
Anak yang ku damba sebagai kebanggaan di akhirat, kini nyatanya hanya jadi bahan tertawaan di tengah masyarakat.
Anak yang ku damba sebagai penerus keturunan dan pejuang agama, ternyata hanya akan jadi bahan bakar neraka.
Oh ya Allah..
Kini, aku dan ibunya, hanya mampu berdiri dengan satu kaki. Tubuh kami bergerak, tapi mati hakikatnya.
Aku hidup dan bernafas, tapi bangkai hakikatnya.
Ibunya menangis air mata, tapi darah hakikatnya.
Andai saja, ia masih kecil dan nakal, mungkin aku akan jewer kupingnya. Tapi kini, jewer pun tak akan mampu menjadikannya sebagai anak yang shalihah.
Jangan biarkan ayah jelek tak punya muka ini, lebih sengsara menahan luka. Kini, harapan hidup hanya sejengkal tanah, harapan sembuh dari duka hanya isapan jempol belaka.
Hai anakku,
Kenapa tak kau tancapkan saja pisau belati ke perut ibumu? Supaya dia tak menyesal melahirkan kamu.
Kenapa tak kau hancurkan kepala ayahmu ini dengan batu, supaya ia dapat mati dengan terhormat?
Biarlah..
Allah sendiri yang menghukummu di neraka, karena kau tak patuh pada ajaranNya dan Rasulnya.
Dan kini... Tinggalkan ayah dan ibumu ini, meratapi nasib sepanjang masa. Dan jangan kau tengok lagi kalau kami sakit, sebab kau sudah menyakiti kami.
Jangan pula kau layat jenazah ayah ibumu kalau kami mati, sebab kami telah mati sebelum waktunya...
Kau telah membunuhnya.
(Buah Kecil Kebahagiaan, Karya Jun Haris)
NING ANNA
Suara iqamat dari masjid mulai mengumandang, tanda shalat shubuh akan
segera dimulai. Tampak sepasang kaki dalam kegelapan bergegas memakai
bakiak, berlari-lari kecil ke arah masjid, itulah kaki Ning Ana putri
pak kyai, yang telah... 3 tahun telah dinikahkan dengan salah satu
murid abahnya sendiri. Namun dalam 3 tahun ini, pak kyai belum ada
tanda-tanda mau menimang seorang cucu.
Setelah salam dan dzikir sehabis shalat, pak kyai memberi pelajaran kepada santri-santrinya, hingga matanya tertuju pada pojokan masjid, tempat favorit di mana menantunya mendengar pengajian darinya.
Menantunya adalah santri yang pendiam, alim dan tenang dalam bicara. Berwajah biasa tak ada yang istimewa.
"Suamimu ke mana An, kok tidak hadir?" tanya pak kyai pada anaknya.
"Sakit perut kali, bah!" jawab Ning Ana yang disambut cekikikan para santri putra putri di dalam masjid.
"Ya sudah, kamu panggil sana!" perintah pak kyai pada salah satu santri putra.
Dan segera santri tsb berangkat ke rumah ning Ana yang hanya 35 meteran dari masjid. Hanya dalam waktu 5 menit, sang menantunya datang ke masjid diiringi santri suruhan pak kyai. Namun anehnya, sang menantu hanya mendengar pengajian dari luar majelis, ia terlihat duduk seksama di tangga masjid.
Ketika pengajian usai dan para santri sudah bubar, sebelum pulang pak kyai dan Ning ana, berdua menghampiri menantunya.
"Kenapa kamu gak masuk ke dalam masjid saja, Le. Kamu sakit?" tanyanya.
"Tidak kok, abah!"
"Lalu kenapa gak ikut jamaah subuh, gak biasanya kamu telat, kamu ketiduran? Istrimu aja ikut jamaah, tapi kamu malah enak-enakan ngorok! Malas amat jadi lelaki."
"Tidak kok, abah?" jawab sang menantu sambil menundukkan muka.
"Dari tadi jawaban kamu, tidak tidak melulu. Lalu kenapa? Jawab yang bener?"
Ning Ana hanya diam, sekali waktu membuang muka melihat suaminya dimarah oleh abahnya, ada perasaan puas melihat suaminya diam tak berkutik di depan mertuanya.
"Anu, abah... Bakiak saya dipakai Ning Ana!" jawab sang menantu sambil menunjuk kaki ning ana.
Jawaban singkat itu membuat ning ana tak berdaya, raut mukanya merona merah menahan malu. Belum pernah ia malu seperti ini, apalagi ini gara-gara bakiak.
"Kenapa kamu gak pakai bakiaknya ana saja?"
"Maaf, abah. Sebenarnya mau saya begitu, tapi saya belum izin sama yang punya. Jadi, dari pada dosa ghosob mending saya begini saja." jawab menantunya sambil memandang kakinya yang nyeker tanpa serandal.
Jawaban yang kedua kali ini membuat ning ana tambah malu, matanya mulai merah seperti hendak menangis.
Pak kyai bertambah bingung melihat Ning ana yang mulai menangis, "Apa-apaan sih kalian berdua ini, sama barang istri sendiri pakai izin segala? Ada apa ana?"
"Maafkan ana, abah! Selama 3 tahun ini, meski kami serumah, tapi kami tak pernah bertegur sapa. Sejak akad nikah aku berkata padanya, bahwa dia tak layak bagiku. Karena berbagai alasan aku menolaknya. Dia ku suruh diam, pura-pura diantara kami tidak ada apa-apa, Supaya abah tidak tahu akan hal ini. Dan itulah kata-kata pertama dan terakhirku pada mas aris." kata ana sesenggukan
"Jadi, diam-diam kamu menolak dengan pernikahan ini? Kamu gak mau bersuamikan dia, gitu?"
"Awalnya sih gitu, abah. Dulu ana menganggap bahwa mas aris adalah takdir buruk yang ana terima. Mengingat ana adalah tamatan perguruan tinggi islam dan bertitel S2 bahasa arab, sedangkan mas aris hanya tamatan pesantren desa. Namun baru hari ini ana menyadari, bahwa pilihan abah benar. Dia benar-benar lelaki yang bertanggung jawab dan setia, tak pernah membuat malu dan sakit hati aku, meski aku sangat jijik melihatnya. Aku benar-benar bersalah dan minta maaf atas kelakuan ana selama ini pada abah, ana menxesal abah, telah mengecewakan abah dan mas aris!"
Singkat cerita, mas aris sang suamipun dengan ikhlas memaafkannya, setahun kemudian ning ana mulai hamil. Dan ketika aku tulis kisah ini, mereka sudah dikaruniai 5 orang anak yang manis-manis.
Semoga kita mengambil hikmah kisah ini.
(CAP: Cerita Anak Pesantren, Karya Jun Haris)
Setelah salam dan dzikir sehabis shalat, pak kyai memberi pelajaran kepada santri-santrinya, hingga matanya tertuju pada pojokan masjid, tempat favorit di mana menantunya mendengar pengajian darinya.
Menantunya adalah santri yang pendiam, alim dan tenang dalam bicara. Berwajah biasa tak ada yang istimewa.
"Suamimu ke mana An, kok tidak hadir?" tanya pak kyai pada anaknya.
"Sakit perut kali, bah!" jawab Ning Ana yang disambut cekikikan para santri putra putri di dalam masjid.
"Ya sudah, kamu panggil sana!" perintah pak kyai pada salah satu santri putra.
Dan segera santri tsb berangkat ke rumah ning Ana yang hanya 35 meteran dari masjid. Hanya dalam waktu 5 menit, sang menantunya datang ke masjid diiringi santri suruhan pak kyai. Namun anehnya, sang menantu hanya mendengar pengajian dari luar majelis, ia terlihat duduk seksama di tangga masjid.
Ketika pengajian usai dan para santri sudah bubar, sebelum pulang pak kyai dan Ning ana, berdua menghampiri menantunya.
"Kenapa kamu gak masuk ke dalam masjid saja, Le. Kamu sakit?" tanyanya.
"Tidak kok, abah!"
"Lalu kenapa gak ikut jamaah subuh, gak biasanya kamu telat, kamu ketiduran? Istrimu aja ikut jamaah, tapi kamu malah enak-enakan ngorok! Malas amat jadi lelaki."
"Tidak kok, abah?" jawab sang menantu sambil menundukkan muka.
"Dari tadi jawaban kamu, tidak tidak melulu. Lalu kenapa? Jawab yang bener?"
Ning Ana hanya diam, sekali waktu membuang muka melihat suaminya dimarah oleh abahnya, ada perasaan puas melihat suaminya diam tak berkutik di depan mertuanya.
"Anu, abah... Bakiak saya dipakai Ning Ana!" jawab sang menantu sambil menunjuk kaki ning ana.
Jawaban singkat itu membuat ning ana tak berdaya, raut mukanya merona merah menahan malu. Belum pernah ia malu seperti ini, apalagi ini gara-gara bakiak.
"Kenapa kamu gak pakai bakiaknya ana saja?"
"Maaf, abah. Sebenarnya mau saya begitu, tapi saya belum izin sama yang punya. Jadi, dari pada dosa ghosob mending saya begini saja." jawab menantunya sambil memandang kakinya yang nyeker tanpa serandal.
Jawaban yang kedua kali ini membuat ning ana tambah malu, matanya mulai merah seperti hendak menangis.
Pak kyai bertambah bingung melihat Ning ana yang mulai menangis, "Apa-apaan sih kalian berdua ini, sama barang istri sendiri pakai izin segala? Ada apa ana?"
"Maafkan ana, abah! Selama 3 tahun ini, meski kami serumah, tapi kami tak pernah bertegur sapa. Sejak akad nikah aku berkata padanya, bahwa dia tak layak bagiku. Karena berbagai alasan aku menolaknya. Dia ku suruh diam, pura-pura diantara kami tidak ada apa-apa, Supaya abah tidak tahu akan hal ini. Dan itulah kata-kata pertama dan terakhirku pada mas aris." kata ana sesenggukan
"Jadi, diam-diam kamu menolak dengan pernikahan ini? Kamu gak mau bersuamikan dia, gitu?"
"Awalnya sih gitu, abah. Dulu ana menganggap bahwa mas aris adalah takdir buruk yang ana terima. Mengingat ana adalah tamatan perguruan tinggi islam dan bertitel S2 bahasa arab, sedangkan mas aris hanya tamatan pesantren desa. Namun baru hari ini ana menyadari, bahwa pilihan abah benar. Dia benar-benar lelaki yang bertanggung jawab dan setia, tak pernah membuat malu dan sakit hati aku, meski aku sangat jijik melihatnya. Aku benar-benar bersalah dan minta maaf atas kelakuan ana selama ini pada abah, ana menxesal abah, telah mengecewakan abah dan mas aris!"
Singkat cerita, mas aris sang suamipun dengan ikhlas memaafkannya, setahun kemudian ning ana mulai hamil. Dan ketika aku tulis kisah ini, mereka sudah dikaruniai 5 orang anak yang manis-manis.
Semoga kita mengambil hikmah kisah ini.
(CAP: Cerita Anak Pesantren, Karya Jun Haris)
TERIMA AKU APA ADANYA
(Di ambil dari buku Buah Kecil Kebahagiaan Karya Jun Haris)
Ya Allah..
Ku mohon kepada-Mu berikan jodoh yang terima aku apa adanya.
Doaku pun Engkau jawab, Engkau hadirkan seorang pemuda kehadapanku.
... Dalam bincang-bincang ta'aruf ku ketahui ternyata ia hanya tamatan SMA. Padahal aku sarjana, dan akupun begitu kecewa.
Maka ku beralasan kepada penghubungku, bahwa ibuku menghendaki suamiku adalah orang sekotaku, yang tinggal tak jauh dari daerahku.
Oh.. Tuhan..
Aku menghendaki dia terima apa adanya, tapi ternyata aku tak menerima keadaannya.
Ya Allah..
Ku pinta padamu calon imamku, yang shalih yang terima aku apa adanya. Yang mampu mendidikku dan keluargaku menjadi muslimah yang shalihah, keluarga yang sakinah.
Engkau pun menghadirkan pemuda shalih dalam hidupku. Pemuda alim, seorang ustadz yang mampu menjadi imamku.
Namun dalam pertemuan ta'aruf, ku pandang wajahnya pasaran dan pas-pasan, tak ganteng dan tak begitu tampan. Ku bingung bagaimana cara menghindari, maka dengan hati-hati, aku bilang bahwa aku belum ada chemistry.
Oh Tuhan..
Ku bilang pada-Mu pemuda yang terima aku apa adanya, tapi kenapa aku tak menerima dia apa adanya?
Ya Allah..
Ku harap pemuda jujur, beriman dan tanggung jawab supaya tak ada perselingkuhan dalam rumah tangga kami. Seorang pemuda yang setia yang terima aku apa adanya.
Engkau pun hadirkan pemuda tampan itu dalam hidupku.
Namun penuturannya dalam ta'aruf, membuat aku cemas, merinding dan takut. Bagaimana tidak, ia adalah yatim piatu, tak punya ortu tak punya saudara, yang ada hanya teman senasib sebaya di pesantrennya.
Dalam ketakutan akan masa depan, ekonomi dan kebutuhan, maka ku katakan bahwa aku tak mau suami yang lahirnya hari senin, sebab hari itu bertepatan dengan hari kematian kakekku.
Oh Tuhan..
Jujur sih jujur, tampang sih OK, Dia terima aku yang ilmu islamnya tak begitu mendalam, tapi Kenapa aku tak terima dia apa adanya?
Ya Allah, aku tak tahu bagaimana perasaan pemuda-pemuda alim yang ku tolak dengan berbagai dalih dan alasan.
Maafkanlah aku, ku bohongi kalian dengan kata-kata TERIMA AKU APA ADANYA, yang nyatanya bersyarat harus berpendidikan tinggi, gagah, alim, tampan dan kaya.
Ya allah..
Ku pinta alim, Engkau datangkan pemuda alim tapi miskin dan rendah pendidikan.
Ku pinta imam, Kau datangkan ustadz alim tapi berwajah pasaran tampang pas-pasan.
Ku pinta pemuda jujur, setia dan tanggung jawab tapi Engkau datangkan pemuda shalih dan tampan, tapi sayang ia yatim piatu sebatang kara tak punya apa-apa.
Oh...Tuhan
Ku bilang terima aku apa adanya, ternyata aku plin-plan tak mau menerima dia apa adanya. Padahal aku tahu, bahwa terima aku apa adanya berarti aku ikhlas dengan apa yang dia punya...
Tapi semua terkuak sudah.. Isi kepala dan dadaku mendidih mengatakan.. AKU GADIS YANG BERSYARAT.
Semua kata, TERIMA AKU APA ADANYA, adalah kebohongan perempuan yang sudah menjadi rahasia umum.
Ya Allah..
Ku mohon kepada-Mu berikan jodoh yang terima aku apa adanya.
Doaku pun Engkau jawab, Engkau hadirkan seorang pemuda kehadapanku.
... Dalam bincang-bincang ta'aruf ku ketahui ternyata ia hanya tamatan SMA. Padahal aku sarjana, dan akupun begitu kecewa.
Maka ku beralasan kepada penghubungku, bahwa ibuku menghendaki suamiku adalah orang sekotaku, yang tinggal tak jauh dari daerahku.
Oh.. Tuhan..
Aku menghendaki dia terima apa adanya, tapi ternyata aku tak menerima keadaannya.
Ya Allah..
Ku pinta padamu calon imamku, yang shalih yang terima aku apa adanya. Yang mampu mendidikku dan keluargaku menjadi muslimah yang shalihah, keluarga yang sakinah.
Engkau pun menghadirkan pemuda shalih dalam hidupku. Pemuda alim, seorang ustadz yang mampu menjadi imamku.
Namun dalam pertemuan ta'aruf, ku pandang wajahnya pasaran dan pas-pasan, tak ganteng dan tak begitu tampan. Ku bingung bagaimana cara menghindari, maka dengan hati-hati, aku bilang bahwa aku belum ada chemistry.
Oh Tuhan..
Ku bilang pada-Mu pemuda yang terima aku apa adanya, tapi kenapa aku tak menerima dia apa adanya?
Ya Allah..
Ku harap pemuda jujur, beriman dan tanggung jawab supaya tak ada perselingkuhan dalam rumah tangga kami. Seorang pemuda yang setia yang terima aku apa adanya.
Engkau pun hadirkan pemuda tampan itu dalam hidupku.
Namun penuturannya dalam ta'aruf, membuat aku cemas, merinding dan takut. Bagaimana tidak, ia adalah yatim piatu, tak punya ortu tak punya saudara, yang ada hanya teman senasib sebaya di pesantrennya.
Dalam ketakutan akan masa depan, ekonomi dan kebutuhan, maka ku katakan bahwa aku tak mau suami yang lahirnya hari senin, sebab hari itu bertepatan dengan hari kematian kakekku.
Oh Tuhan..
Jujur sih jujur, tampang sih OK, Dia terima aku yang ilmu islamnya tak begitu mendalam, tapi Kenapa aku tak terima dia apa adanya?
Ya Allah, aku tak tahu bagaimana perasaan pemuda-pemuda alim yang ku tolak dengan berbagai dalih dan alasan.
Maafkanlah aku, ku bohongi kalian dengan kata-kata TERIMA AKU APA ADANYA, yang nyatanya bersyarat harus berpendidikan tinggi, gagah, alim, tampan dan kaya.
Ya allah..
Ku pinta alim, Engkau datangkan pemuda alim tapi miskin dan rendah pendidikan.
Ku pinta imam, Kau datangkan ustadz alim tapi berwajah pasaran tampang pas-pasan.
Ku pinta pemuda jujur, setia dan tanggung jawab tapi Engkau datangkan pemuda shalih dan tampan, tapi sayang ia yatim piatu sebatang kara tak punya apa-apa.
Oh...Tuhan
Ku bilang terima aku apa adanya, ternyata aku plin-plan tak mau menerima dia apa adanya. Padahal aku tahu, bahwa terima aku apa adanya berarti aku ikhlas dengan apa yang dia punya...
Tapi semua terkuak sudah.. Isi kepala dan dadaku mendidih mengatakan.. AKU GADIS YANG BERSYARAT.
Semua kata, TERIMA AKU APA ADANYA, adalah kebohongan perempuan yang sudah menjadi rahasia umum.
Langganan:
Postingan (Atom)