Senin, 06 Februari 2012

HIASI DIRIMU DENGAN SIFAT MALU

Dalam kitab “Madarijus Saalikin”, Ibnul Qayyim membagi malu menjadi 10 kriteria malu.
Pertama, malu karena berbuat salah, sebagaimana malunya Nabi Adam As yang melarikan diri dari surga, seraya ditegur oleh Allah SWT: “Mengapa engkau lari dari-Ku wahai Adam?” Adam kemudian menjawab: “Tidak wahai Rabbi, hanya aku malu terhadap Engkau.”
Kedua, malu karena keterbatasan diri seperti malunya para malaikat yang senantiasa bertasbih siang dan malam. Pada hari kiamat mereka berkata: “Maha suci Engkau, kami tidak menyembah kepeda-Mu sebenar-benarnya.”
Ketiga, malu karena ma’rifah yang mendalam kepada Allah SWT karena keagungan Allah SWT atas seorang hamba seperti malunya Nabi Nuh As ditegor Allah karena meminta keselamatan anaknya yang kafir.
Keempat, malu karena kehalusan budi, seperti malu Rasulullah Saw kepada para Sahabat dalam walimahnya dengan Zainab.
Kelima, malu karena kesopanan, seperti Ali bin Thalib malu bertanya kepada Rasulullah tentang hukum madzi.
Keenam, malu karena merasa hina kepada Allah SWT, seperti malunya para Rasul ulul azhmi untuk meminta syafaat kubra di padang mahsyar karena kebijakan / kesalahan yang pernah diperbuatnya.
Ketujuh, malu karena cinta kepada Allah SWT, bahkan ketika sendirian tidak ada seorangpun, sehingga ia selalu melakukan muraqabah, seperti kisah Nabi Musa As untuk tidak mandi dalam keadaan telanjang.
Kedelapan, malu karena ‘ubudiyah yang bercampur antara cinta, harap, dan takut. Seorang hamba akan malu karena yang disembahnya terlalu Agung padahal dirinya terlalu hina, sehingga mendorongnya untuk selalu ibadah.
Kesembilan, malu karena kemulian seorang hamba yang wara’ dan muru’ah sehingga biarpun ia telah memberi dan berkorban dengan mengeluarkan sesuatu yang baik, toh ia masih marasa malu karena kemuliaan dirinya. Seperti malunya Umar bin Khattab melihat kedermawanan Abu Bakar.
Kesepuluh, malu terhadap diri sendiri karena keagungan jiwa seorang hamba atas keridhaan perbuatan baik dirinya dan merasa puas terhadap kekurangan orang lain. Seolah-olah mereka mempunyai dua jiwa, yang satu malu dengan yang lainnya.
Tip Menjaga Sifat Malu
Dari Abu Mas’ud Uqbah bin Amr Al Anshary Al Badry r.a dia berkata, Rasulullah SAW bersabda; “Sesungguhnya ungkapan yang telah dikenal orang-orang dari ucapan nabi-nabi terdahulu adalah: Jika engkau tidak malu perbuatlah apa yang engkau suka.” [HR Bukhori]
Hadits di atas mengisyaratkan bila rasa malu telah hilang dalam hati seseorang, maka dia telah terjerumus menjadi manusia yang hilang akalnya, sehingga berbuat sesuka hatinya tanpa mengindahkan lagi aturan Allah SWT maupun kehormatan dirinya.
Di bawah ini beberapa cara agar sifat malu masih tertanam dalam diri kita.
1. Berdoa tiap saat agar Allah terus memberi hidayah dan taufiq Nya. Serta berharap agar terus-menerus dalam pengawasan dan lindungan Allah
Diriwayatkan dari Ibnu Umar, Rasulullah bersabda: ”Sesungguhnya Allah yang Maha Mulia dan Maha Agung, bila berkehendak menjatuhkan seseorang maka Allah cabut dari orang itu rasa malunya. Ia hanya akan menerima kesusahan (dari orang banyak yang marah kepadanya). Melalui ungkapan kemarahan itu, hilang pulalah kepercayaan orang kepadanya.”
Mudah-mudahan diri dan keluarga kita terhindar dari tercabutnya rahmat Allah, sehingga Allah tidak mencabut rasa malu yang kita miliki.
2. Munculkanlah setiap saat perasaan malu jika ingin melakukan hal-hal yang dilarang Allah
Rasa malu pada sesama akan mencegah seseorang dari melakukan perbuatan yang buruk dan akhlak yang hina. Sedangkan rasa malu kepada Allah akan mendorong untuk menjauhi semua larangan Allah dalam setiap kondisi dan keadaan, baik ketika bersama banyak orang ataupun saat sendiri tanpa siapa-siapa menyertai.
Hendaklah tertanam setiap saat perasaan malu kepada Allah Ta’ala, dan kalau pun sudah tidak malu kepada Allah Ta’ala, setidaknya malu kepada malaikat yang tiap saat mencatat amal pebuatan kita. Jika tidak malu kepada malaikat, malulah kepada manusia, atasan kita, teman-teman kita. Jika tidak malu kepada manusia, malulah kepada keluarga di rumah, kalau pun tidak malu kepada keluarga, maka malulah kepada diri sendiri dan hendaklah jujur bahwa apa yang dilakukannya adalah kesalahan, minimal meragukan. Namun malu yang benar, pamrihnya hanya kepada Allah, bukan pada yang lain.
3. Pupuklah iman dalam hati dan diri kita. Sebab antara iman dan rasa malu itu saling bergandengan
Nabi bersabda, الحياء و الإيمان قرنا جميعا فإذا رفع أحدهما رفع الآخر
“Rasa malu dan iman itu terikat menjadi satu. Jika yang satu hilang maka yang lain juga akan hilang.” [HR. Hakim]
4. Ingatlah kematian jika akan melakukan maksiat
Nabi menjelaskan bahwa tanda memiliki rasa malu kepada Allah adalah menjaga anggota badan agar tidak digunakan untuk bermaksiat kepada Allah. Mengingat kematian, adalah cara tepat mencegah perbuatan maksiat.

“Hendaklah kalian malu kepada Allah Azza wajalla dengan sebenar-benarnya malu. Barangsiapa malu kepada Allah Azza wajalla dengan sebenar-benarnya malu, maka hendaklah ia menjaga kepala dan apa yang ada padanya, hendaklah ia menjaga perut dan apa yang dikandungnya, dan hendaklah ia selalu ingat kematian dan busuknya jasad. Barangsiapa menghendaki kehidupan akhirat hendaklah ia meninggalkan perhiasan dunia. Dan barangsiapa yang mengerjakan yang demikian, maka sesungguhnya ia telah malu kepada Allah Azzawajalla dengan sebenar-benarnya malu.” [HR. at-Tirmidzi, Ahmad, al-Hakim].
Semoga, kita termasuk diantara segelintir manusia yang masih memilih rasa malu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar