Senin, 27 Februari 2012

SEJARAH PUASA

Puasa merupakan salah satu rukun Islam yang dilaksanakan oleh kaum muslimin di seluruh dunia. Allah swt. telah mewajibkannya kepada kaum yang beriman, sebagaimana telah diwajibkan atas kaum sebelum Muhammad saw. Puasa merupakan amal ibadah klasik yang telah diwajibkan atas setiap umat-umat terdahulu.
Ada empat bentuk puasa yang telah dilakukan oleh umat terdahulu, yaitu: Puasa merupakan salah satu rukun Islam yang dilaksanakan oleh kaum muslimin di seluruh dunia. Allah swt. telah mewajibkannya kepada kaum yang beriman, sebagaimana telah diwajibkan atas kaum sebelum Muhammad saw. Puasa merupakan amal ibadah klasik yang telah diwajibkan atas setiap umat-umat terdahulu.
Ada empat bentuk puasa yang telah dilakukan oleh umat terdahulu, yaitu:
Puasanya orang-orang sufi, yakni praktek puasa setiap hari dengan maksud menambah pahala. Misalnya puasanya para pendeta.
Puasa bicara, yakni praktek puasa kaum Yahudi. Sebagaimana yang telah dikisahkan Allah dalam Al-Qur’an, surat Maryam ayat 26:
“Jika kamu (Maryam) melihat seorang manusia, maka katakanlah, sesungguhnya aku telah bernadzar berpuasa untuk tuhan yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun pada hari ini” (Q.S. Maryam :26).
Puasa dari seluruh atau sebagian perbuatan (bertapa), seperti puasa yang dilakukan oleh pemeluk agama Budha dan sebagian Yahudi. Dan puasa-puasa kaum-kaum lainnya yang mempunyai cara dan kriteria yang telah ditentukan oleh masing-masing kaum tersebut.
Sedang kewajiban puasa dalam Islam, orang akan tahu bahwa ia mempunyai aturan yang tengah-tengah yang berbeda dari puasa kaum sebelumnya baik dalam tata cara dan waktu pelaksanaan. Tidak terlalu ketat sehingga memberatkan kaum muslimin, juga tidak terlalu longgar sehingga mengabaikan aspek kejiwaan. Hal mana telah menunjukkan keluwesan Islam.
HIKMAH PUASA

Diwajibkannya puasa atas ummat Islam mempunyai hikmah yang dalam. Yakni merealisasikan ketakwaan kepada Allan swt. Sebagaimana yang terkandung dalam surat al-Baqarah ayat 183:
“Hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kalian bertakwa.”


Kadar takwa tersebut terefleksi dalam tingkah laku, yakni melaksanakan perintah dan menjauhi larangan. Al-Baqarah ayat 185 :
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulan) al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia danp enjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan bathil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan tersebut, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”.
Ayat ini menjelaskan alasan yang melatar belakangi mengapa puasa diwajibkan di bulan Ramadhan, tidak di bulan yang lain. Allah mengisyaratkan hikmah puasa bulan Ramadhan, yaitu karena Ramadhan adalah bulan yang penuh berkah dan yang diistimewakan Allah dengan dengan menurunkan kenikmatan terbesar di dalamnya, yaitu al-Qur’an al-Karim yang akan menunjukan manusia ke jalan yang lurus. Ramadhan juga merupakan pengobat hati, rahmah bagi orang-orang yang beriman, dan sebagai pembersih hati serta penenang jiwa-raga. Inilah nikmat terbesar dan teragung. Maka wajib bagi orang-orang yang mendapat petunjuk untuk bersyukur kepada Sang Pemberi Nikmat tiap pagi dan sore.
Bila puasa telah diwajibkan kepada umat terdahulu, maka adakah puasa yang diwajibkan atas umat Islam sebelum Ramadhan?
Jumhur ulama dan sebagian pengikut Imam Syafi’i berpendapat bahwa tidak ada puasa yang pernah diwajibkan atas umat Islam sebelum bulan Ramadhan. Pendapat ini dilandaskan pada hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Mu’awiyah :
“Hari ini adalah hari Asyura’, dan Allah tidak mewajibkannya atas kalian. Siapa yang mau silahkan berpuasa, yang tidak juga boleh meninggalkannya.”


Sedangkan madzhab Hanafi mempunyai pendapat lain: bahwa puasa yan diwajibkan pertama kali atas umat Islam adalah puasa Asyura’.  Setelah datang Ramadhan Asyura’ dirombak (mansukh). Madzhab ini mengambil dalil hadisnya Ibn Umar dan Aisyah ra.:
diriwayatkan dari Ibn ‘Amr ra. bahwa Nabi saw. telah berpuasa hari Asyura’ dan memerintahkannya (kepada umatnya) untuk berpuasa pada hari itu. Dan ketika datang Ramadhan maka lantas puasa Asyura’ beliau tinggalkan, Abdullah (Ibnu ‘Amr) juga tidak berpuasa”. (H.R. Bukhari).
“Diriwayatkan dari Aisyah ra., bahwa orang-orang Quraisy biasa melakukan puasa Asyura’ pada masa jahiliyah. Kemudian Rasulullah memerintahkan untuk berpuasa hari Asyura’ sampai diwajibkannya puasa Ramadhan. Dan Rasul berkata, barangsiapa ingin berpuasa Asyura’ silahkan berpuasa, jika tidak juga tak apa-apa”. (H.R. Bukhari dan Muslim).
Pada masa-masa sebelumnya, Rasulullah biasa melakukan puasa Asyura’ sejak sebelum hijrah dan terus berlanjut sampai usai hijrah. Ketika hijrah ke Madinah beliau mendapati orang-orang Yahudi sedang berpuasa (Asyura’), beliau pun ikut berpuasa seperti mereka dan menyerukan ke ummatnya untuk melakukan puasa itu.
Hal ini sesuai dengan wahyu secara mutawattir (berkesinambungan) dan ijtihad   yang tidak hanya berdasar hadis Ahaad (hadis yang diriwayatkan oleh tidak lebih dari satu orang).
“Ibn Abbas ra. meriwayatkan: ketika Nabi saw. sampai diMadinah, beliau melihat orang-orang Yahudi sedang melakukan puasa Asyura’, lalu beliau bertanya: (puasa) apa ini? Mereka menjawab: ini adalah hari Nabi Salehas., hari di mana Allah swt. memenangkan Bani Israel atas musuh-musuhnya, maka lantas Musa as. melakukan puasa pada hari itu. Lalu Nabi saw. berkata: aku lebih berhak atas Musa dari kalian. Lantas beliau melaksanakan puasa tersebu dan memerintahkan (kepada sahabat-sahabatnya) berpuasa. (HR. Bukhari).
Puasa Ramadhan diwajibkan pada bulan Sya’ban tahun kedua hijriyah, maka lantas, sebagaimana madzhab Abi Hanifah, kewajiban puasa Asyura terombak (mansukh). Sedang menurut madzhab lainnya, kewajiban puasa Ramadhan itu hanya merombak kesunatan puasa Asyura’.
Kewajiban puasa Ramadhan berlandaskan Al-qur’an, Sunnah, dan Ijma.
“Diriwayatkan dari Abdullah Ibn Umar, bahwasanya dia mendengar Rasulullah saw bersabda: Islam berdiri atas lima pilar: kesaksian tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan salat, mengeluarkan zakat, haji ke Baitullah (Makkah) dan berpuasa di bulan Ramadhan.”

Kata ‘al-haj‘ (haji) didahulukan sebelum kata ‘al-shaum‘ (puasa), itu menunjukkan pelaksanakaan haji lebih banyak menuntut pengorbanan waktu dan harta. Sedang dalam riwayat lain, kata ‘al-shaum’ didahulukan, karena kewajiban puasa lebih merata (bisa dilaksanakan oleh mayoritas umat Islam) dari pada haji.
Kewajiban puasa Ramadhan sangat terang. Barang siapa yang mengingkari atau mengabaikan keberadaannya dia termasuk orang kafir, kecuali mereka yang hidup pada zaman Islam masih baru atau orang yang hidup jauh dari ulama.<p>DEFINISI PUASA
Secara etimologi, puasa berarti menahan, baik menahan makan, minum, bicara dan perbuatan. Seperti yang ditunjukkan firman Allah, surat Maryam ayat 26 :
“Sesungguhnya aku telah bernadzar berpuasa demi Tuhan yang Maha Pemurah, bahwasanya aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun pada hari ini”.(Q.S. Maryam : 26)
Sedangkan secara terminologi, puasa adalah menahan dari hal-hal yang membatalkan puasa dengan disertai niat berpuasa. Sebagian ulama mendefinisikan, puasa adalah menahan nafsu dua anggota badan, perut dan alat kelamin sehari penuh, sejak terbitnya fajar kedua sampai terbenamnya matahari dengan memakai niat tertentu. Puasa Ramadhan wajib dilakukan, adakalanya karena telah melihat hitungan Sya’ban telah sempurna 30 hari penuh atau dengan melihat bulan pada malam tanggal 30 Sya’ban. Sesuai dengan hadits Nabi saw.
“Berpuasalah dengan karena kamu telah melihat bulan (ru’yat), dan berbukalah dengan berdasar ru’yat pula. Jika bulan tertutup mendung, maka genapkanlah Sya’ban menjadi 30 hari.”***
Semoga kita bisa mengambil hikmah dari catatan ini.

Diambil dari buku “Pilar-pilar Islam dalam al-Sunnah” karya Prof. Dr. UmarHasyim, oleh M. Rofiq Mu’allimin.

Senin, 06 Februari 2012

PESAN TERAKHIR IMAM GHAZALI

Imam Ghazali terbangun pada dini hari dan sebagaimana biasanya melakukan shalat dan kemudian beliau bertanya pada adiknya, “Hari apakah sekarang ini?” 
Adiknya pun menjawab, “Hari senin.”
Beliau kemudian memintanya untuk mengambilkan sajadah putihnya, lalu beliau menciumnya, Menggelarnya dan kemudian berbaring diatasnya s…ambil berkata lirih, “Ya Allah, hamba mematuhi perintahMu,”
… dan beliau pun menghembuskan nafas terakhirnya.Di bawah bantalnya mereka menemukan bait-bait berikut, ditulis oleh Al-Ghazali ra., barangkali pada malam sebelumnya.
“Katakan pada para sahabatku, ketika mereka melihatku, mati Menangis untukku dan berduka bagiku
Janganlah mengira bahwa jasad yang kau lihat ini adalah aku
Dengan nama Allah, kukatakan padamu, ini bukanlah aku,
Aku adalah jiwa, sedangkan ini hanyalah seonggok daging
Ini hanyalah rumah dan pakaian ku sementara waktu.
Aku adalah harta karun, jimat yang tersembunyi,
Dibentuk oleh debu ,yang menjadi singgasanaku,
Aku adalah mutiara, yang telah meninggalkan rumahnya,
Aku adalah burung, dan badan ini hanyalah sangkar ku
Dan kini aku lanjut terbang dan badan ini kutinggal sbg kenangan
Puji Tuhan, yang telah membebaskan aku
Dan menyiapkan aku tempat di surga tertinggi,
Hingga hari ini , aku sebelumnya mati, meskipun hidup diantara mu.
Kini aku hidup dalam kebenaran, dan pakaian kubur ku telah ditanggalkan.
Kini aku berbicara dengan para malaikat diatas,
Tanpa hijab, aku bertemu muka dengan Tuhanku.
Aku melihat Lauh Mahfuz, dan didalamnya ku membaca
Apa yang telah, sedang dan akan terjadi.
Biarlah rumahku runtuh, baringkan sangkarku di tanah,
Buanglah sang jimat, itu hanyalah sebuah kenang2an, tidak lebih
Sampingkan jubahku, itu hanyalah baju luar ku,
Letakkan semua itu dalam kubur, biarkanlah terlupakan
Aku telah melanjutkan perjalananku dan kalian semua tertinggal.
Rumah kalian bukanlah tempat ku lagi.
Janganlah berpikir bahwa mati adalah kematian, tapi itu adalah kehidupan,
Kehidupan yang melampaui semua mimpi kita disini,
Di kehidupan ini, kita diberikan tidur,
Kematian adalah tidur, tidur yang diperpanjang
Janganlah takut ketika mati itu mendekat,
Itu hanyalah keberangkatan menuju rumah yang terberkati ini
Ingatlah akan ampunan dan cinta Tuhanmu,
Bersyukurlah pada KaruniaNya dan datanglah tanpa takut.
Aku yang sekarang ini, kau pun dapat menjadi
Karena aku tahu kau dan aku adalah sama
Jiwa-jiwa yang datang dari Tuhannya
Badan badan yang berasal sama
Baik atapun jahat, semua adalah milik kita
Aku sampaikan pada kalian sekarang pesan yang menggembirakan
Semoga kedamaian dan kegembiraan Allah menjadi milikmu selamanya.

KESETIAAN SEORANG ISTRI

Teguh dengan kesetiaan yang jujur merupakan sifat wanita yang paling utama.
Sebuah kisah menyebutkan, bahwasanya Asma’ binti ‘Umais adalah isteri Ja’far bin Abi Thalib, lalu menjadi isteri Abu Bakar sepeninggalnya, kemudian setelah itu dinikahi oleh ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu. Suatu kali kedua puteranya, Muhammad bin Ja’far dan Muhammad bin Abi Bakar saling membanggakan. Masing-masing mengatakan, “Aku lebih baik dibandingkan dirimu, ayahku lebih baik dibandingkan ayahmu.” Mendengar hal itu, ‘Ali berkata, “Putuskan perkara di antara keduanya, wahai Asma’.” Ia mengatakan, “Aku tidak melihat pemuda Arab yang lebih baik dibandingkan Ja’far dan aku tidak melihat pria tua yang lebih baik dibandingkan Abu Bakar.” ‘Ali mengatakan, “Engkau tidak menyisakan untuk kami sedikit pun. Seandainya engkau mengatakan selain yang engkau katakan, niscaya aku murka kepadamu.” Asma’ berkata, “Dari ketiganya, engkaulah yang paling sedikit dari mereka untuk dipilih” [1]
Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu berwasiat agar Asma’ binti ‘Umais Radhiyallahu ‘anhuma memandikannya (saat kematiannya). Ia pun melakukannya, sedangkan ia dalam keadaan berpuasa. Lalu ia bertanya kepada kaum Muhajirin yang datang, “Aku berpuasa dan sekarang adalah hari yang sangat dingin, apakah aku wajib (harus) mandi?” Mereka menjawab, “Tidak.” Sebelumnya Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu menekankan kepadanya agar (ketika memandikannya) dia tidak dalam keadaan berpuasa, seraya mengatakan, “Itu membuatmu lebih kuat.” Kemudian ia teringat sumpah Abu Bakar pada akhir siang, maka ia meminta air lalu meminumnya seraya mengatakan, “Demi Allah, aku tidak ingin mengiringi sumpahnya pada hari ini dengan melanggarnya” [2]
Ketika kaum pendosa lagi fasik mengepung pemimpin yang berbakti dan “sang korban pembunuhan” kaum berdosa, ‘Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu ‘anhu dan mereka menyerangnya dengan pedang, maka isterinya (Na’ilah binti al-Furafishah) maju ke hadapan beliau sehingga menjadi pelindung baginya dari kematian. Para pembunuh yang bengis ini tidak menghiraukan kehormatan wanita ini dan mereka terus menebas ‘Utsman dengan pedang, (namun sang isteri menangkisnya) dengan mengepalkan jari-jari tangannya, hingga jari-jarinya terlepas dari tangannya. Isterinya menggandengnya lalu terjatuh bersamanya, kemudian mereka membunuh ‘Utsman [3].
Ketika Amirul Mukminin Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhu melamarnya, ia menolak seraya mengatakan, “Demi Allah, tidak ada seorang pun yang dapat menggantikan kedudukan ‘Utsman (sebagai suamiku) selamanya.”[4]
Di antara tanda-tanda kesetiaan banyak wanita shalihah kepada suami mereka setelah kematiannya bahwa mereka tidak menikah lagi. Tidak ada yang dituju melainkan agar tetap menjadi isteri mereka di dalam Surga”[5]
Dari Maimun bin Mihran, ia mengatakan: “Mu’awiyah bin Abi Sufyan Radhiyallahu ‘anhu meminang Ummud Darda’, tetapi ia menolak menikah dengannya seraya mengatakan, ‘Aku mendengar Abud Darda’ mengatakan: ‘Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda.“ Artinya : Wanita itu bersama suaminya yang terakhir,’ atau beliau mengatakan, ‘untuk suaminya yang terakhir”[6]
Dari ‘Ikrimah bahwa Asma’ binti Abi Bakar menjadi isteri az-Zubair bin al-‘Awwam, dan dia keras terhadapnya. Lalu Asma’ datang kepada ayahnya untuk mengadukan hal itu kepadanya, maka dia mengatakan, “Wahai puteriku, bersabarlah! Sebab, jika wanita memiliki suami yang shalih, kemudian dia mati meninggalkannya, lalu ia tidak menikah sepeninggalnya, maka keduanya dikumpulkan di dalam Surga” [7]
Dari Jubair bin Nufair, dari Ummud Darda’ bahwa dia berkata kepada Abud Darda’, “Sesungguhnya engkau telah meminangku kepada kedua orang tuaku di dunia, lalu mereka menikahkanmu denganku. Dan sekarang, aku meminangmu kepada dirimu di akhirat.” Abud Darda’ mengatakan, “Kalau begitu, janganlah menikah sepeninggalku.” Ketika Mu’awiyah meminangnya, lalu ia menceritakan tentang apa
yang telah terjadi, maka Mu’awiyah mengatakan, “Berpuasalah! [8]
Ketika Sulaiman bin ‘Abdil Malik keluar dan dia disertai Sulaiman bin al-Muhlib bin Abi Shafrah dari Damaskus untuk melancong, keduanya melewati sebuah pekuburan. Tiba-tiba terdapat seorang wanita sedang duduk di atas pemakaman dengan keadaan menangis. Lalu angin berhembus sehingga menyingkap cadar dari wajahnya, maka ia seolah-olah mendung yang tersingkap matahari. Maka kami berdiri dalam keadaan tercengang. Kami memandangnya, lalu Ibnul Muhlib berkata kepadanya, “Wahai wanita hamba Allah, apakah engkau mau menjadi isteri Amirul Mukminin?” Ia memandang keduanya, kemudian memandang kuburan, dan mengatakan: “Jangan engkau bertanya tentang keinginanku Sebab keinginan itu pada orang yang dikuburkan ini, wahai pemuda Sesungguhnya aku malu kepadanya sedangkan tanah ada di antara kita Sebagaimana halnya aku malu kepadanya ketika dia melihatku” Maka, kami pergi dalam keadaan tercengang.[9]
Di antara teladan yang pantas disebutkan sebagai teladan utama dari para wanita tersebut adalah Fathimah binti ‘Abdil Malik bin Marwan. Fathimah binti Amirul Mukminin ‘Abdil Malik bin Marwan ini pada saat menikah, ayahnya memiliki kekuasaan yang sangat besar atas Syam, Irak, Hijaz, Yaman, Iran, Qafqasiya, Qarim dan wilayah di balik sungai hingga Bukhara dan Janwah bagian timur, juga Mesir, Sudan, Libya, Tunisia, Aljazair, Barat jauh, dan Spanyol bagian Barat. Fathimah ini bukan hanya puteri Khalifah Agung, bahkan dia juga saudara empat khalifah Islam terkemuka: al-Walid bin ‘Abdil Malik, Sulaiman bin ‘Abdil Malik, Yazid bin ‘Abdil Malik dan Hisyam bin ‘Abdil Malik. Lebih dari itu dia adalah isteri Khalifah terkemuka yang dikenal Islam setelah empat khalifah di awal Islam, yaitu Amirul Mukminin ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz. Puteri khalifah, dan khalifah adalah kakeknya Saudara khalifah, dan khalifah adalah suaminya Wanita mulia yang merupakan puteri khalifah dan saudara empat khalifah ini keluar dari rumah ayahnya menuju rumah suami-nya pada hari dia diboyong kepadanya dengan membawa harta termahal yang dimiliki seorang wanita di muka bumi ini berupa perhiasan. Konon, di antara perhiasan ini adalah dua liontin Maria yang termasyhur dalam sejarah dan sering disenandungkan para penya’ir. Sepasang liontin ini saja setara dengan harta karun. Ketika suaminya, Amirul Mukminin, memerintahkannya agar membawa semua perhiasannya ke Baitul Mal, dia tidak menolak dan tidak membantahnya sedikitpun. Wanita agung ini -lebih dari itu- ketika suaminya, Amirul Mukminin ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz wafat meninggalkannya tanpa meninggalkan sesuatu pun untuk diri dan anak-anaknya, kemudian pengurus Baitul Mal datang kepadanya dan mengatakan, “Perhiasanmu, wahai sayyidati, masih tetap seperti sedia kala, dan aku menilainya sebagai amanat (titipan) untukmu serta aku memeliharanya untuk hari tersebut. Dan sekarang, aku datang meminta izin kepadamu untuk membawa (kembali) perhiasan tersebut (kepadamu).” Fathimah memberi jawaban bahwa perhiasan tersebut telah dihibahkannya untuk Baitul Mal bagi kepentingan kaum muslimin, karena mentaati Amirul Mukminin. Kemudian dia mengatakan, “Apakah aku akan mentaatinya semasa hidupnya, dan aku mendurhakainya setelah kematiannya?” [10]
[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq, Penterjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsair]
__________
Foote Note
[1]. Thabaqaat Ibni Sa’ad (II/2080), Abu Nu’aim dalam al-Hilyah (II/36), Siyar A’laamin Nubalaa’ (II/286); al-Ishaabah (VII/491).
[2]. Thabaqaat Ibni Sa’ad (VIII/208).
[3]. Audatul Hijaab (II/533), dan dinisbatkan kepada ad-Durrul Mantsuur fii Thabaqaat Rabaatil Khuduur (hal. 517).
[4]. Siyar A’laamin Nubalaa’ (VII/343).
[5]. ‘Audatul Hijaab (II/534).
[6]. As-Silsilah ash-Shahiihah, Syaikh al-Albani (no. 1281), shahih.
[7]. As-Silsilah ash-Shahiihah, Syaikh al-Albani (III/276), shahih.
[8]. Siyar A’laamin Nubalaa’ (IV/278).
[9]. Akhbarun Nisaa’ (hal. 138), dan kitab ini dinisbatkan secara keliru kepada Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Yang benar bahwa beliau tidak pernah menulis kitab ini.
[10]. ‘Audatul Hijaab (II/538)

Ibroh:
Subhanallah, Allah telah memberikan kita tauladan yang begitu mulia, yang begitu Agung… Semoga kita menjadi wanita sholehah, menjadi istri sholehah yang senantiasa taat terhadap suami kita, semoga Allah membuka pintu ridhoNya dan pintu surgaNya untuk kita semuanya.. Amin
Teruntuk Saudariku yang dicintai Allah, semoga Allah mengampuni seluruh kaum muslimin dan mukminin di dunia ini, dan menjadikan kita semua menjadi hamba2 yang selalu bertakwa dan berjuang untuk ridhoNya..
Teruntuk suamiku tercinta,
Jazakallah khoiron katsir suamiku, semoga Allah menjadikan keluarga kita sebagaimana keinginanmu, semoga Bunda bisa mendidik putra kita menjadi putra yang sholeh, qurrota’ayyun, dan pemimpin bagi orang2 yang bertakwa. Dan semoga Allah mengumpulkan kita sebagai keluarga dalam surgaNya Allah, sebagaimana pesanmu untukku wahai suamiku, Amin..
Ya Rabbi, kabulkanlah doa kami… Amin…
Salam rinduku untukmu suamiku, Semoga engkau ditempat yang lebih indah

TENTANG IMAN DAN KIKIR

“KEKIKIRAN dan Keimanan selamanya tidak akan BERKUMPUL pada hati seorang Muslim.” [HR Ahmad, Ibnu Hibban dan al-Hakim]

TENTANG WANITA (ISTRI)

(( ﺇِﻥَّ ﺍﻟْﻤَﺮْﺃَﺓََ ﺧُﻠِﻘَﺖْ ﻣِﻦْ ﺿِﻠَﻊٍ, ﻟَﻦْ ﺗَﺴْﺘَﻘِﻴْﻢَ
ﻟَﻚَ ﻋَﻠَﻰ ﻃَﺮِﻳْﻘَﺔٍ, ﻓَﺈِﻥِ ﺍﺳْﺘَﻤْﺘَﻌْﺖَ ﺑِﻬَﺎ
ﺍِﺳْﺘَﻤْﺘَﻌْﺖَ ﺑِﻬَﺎ ﻭَﻓِﻴْﻬَﺎ ﻋِﻮَﺝٌ, ﻭَﺇِﻥْ ﺫَﻫَﺒْﺖَ
ﺗُﻘِﻴْﻤُﻬَﺎ ﻛَﺴَﺮْﺗَﻬَﺎ ﻭَﻛَﺴْﺮُﻫَﺎ ﻃَﻼَﻗُﻬَﺎ))
“Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk, ia tidak bisa lurus bersamamu di atas satu jalan. Jika kamu menikmatinya maka kamu menikmatinya dalam kondisi bengkok, namun bila anda ingin meluruskannya, maka boleh jadi patah dan patahnya adalah talak.” (Shahih, diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahih-nya: 3631)

TENTANG MEMUDAHKAN URUSAN ORANG LAIN

“Barangsiapa yang membahagiakan seorang mukmin dengan memberinya makan karena lapar, membayar hutangnya, atau melonggarkan kesempitan urusan dunianya, maka Allah akan melonggarkannya dari kesulitan akhirat. Dan barangsiapa memberi kesempatan kepada orang yang dalam kemudahan, atau memutihkan hutang orang yang dalam kesulitan, maka Allah akan memberinya naungan pada hari yang tidak ada naungan lagi.
Dan barangsiapa yang berjalan bersama saudaranya ke ujung kampung untuk mengokohkan hajatnya maka Allah akan kokohkan kakinya di hari banyak kaki yang tergelincir. Dan sungguh seseorang diantara kalian berjalan untuk memenuhi hajat saudaranya lebih baik baginya dari beri’tikaf di masjidku selama satu bulan”.
(HR. Al-Hakim)

TENTANG DO'A RASULULLAH SAW

“Ya, Allah kepada-Mu aku mengadukan kelemahanku kurangnya kesanggupanku, dan kerendahan diriku berhadapan dengan manusia. Wahai Dzat Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Engkaulah Pelindung bagi si lemah dan Engkau jualah pelindungku! Kepada siapa diriku hendak Engkau serahkan?
Kepada orang jauh yang berwajah suram terhadapku, ataukah kepada musuh yang akan menguasai diriku?
Jika Engkau tidak murka kepadaku, maka semua itu tak kuhiraukan, karena sungguh besar nikmat yang telah Engkau limpahkan kepadaku. Aku berlindung pada sinar cahaya wajah-Mu, yang menerangi kegelapan dan mendatangkan kebajikan di dunia dan di akherat dari murka-Mu yang hendak Engkau turunkan dan mempersalahkan diriku. Engkau berkenan. Sungguh tiada daya dan kekuatan apa pun selain atas perkenan-Mu.” (HR BUKHARI MUSLIM)

TENTANG SALING MENYAYANGI

Abu Hurairah radhiyallahu anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam telah bersabda: “Tidaklah kalian masuk surga hingga kalian beriman. Dan tidaklah kalian beriman hingga saling menyayangi antara satu sama lain. Maukah kalian aku tunjukkan suatu amalan yang jika kalian kerjakan niscaya kalian akan saling menyayangi antara satu sama lain? Sebarkanlah salam sebanyak-banyaknya diantara kalian.” (HR.Muslim)

TAFAKKUR MENJELANG TIDUR

Saat malam tiba, hilangkan segala dendam, maafkan orang-orang yang telah menyakitimu.
Bila kamu membenci seseorang, maka meskipun dia melakukan kebaikan, nilainya akan tetap salah menurutmu.
Tanyakan pada hatimu, apakah kamu yakin bahwa dirimu akan mati khusnul khatimah?
Amal apa yang kamu banggakan?
Apa kamu yakin bahwa orang yang kamu benci su’ul khatimah?
Bagaimana bila ternyata orang yang kamu benci khusnul khatimah sedang dirimu su’ul khatimah?
Kalau tidak yakin, kenapa harus membenci, mencela, memfitnah bahkan sumpah serapah?
Bagaimana bila celaan dan fitnahan dan sumpah serapah malah menghantam diri kita sendiri?
ingat…Kita bukan Tuhan yang bisa menghakimi akhir hidup seseorang.
Ingat..kita akan mati, mumpung masih hidup minta maaflah. Atau maafkanlah bila dia yang salah.

TENTANG TAWAKKAL

Dari Umar bin Khoththob radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﻟَﻮْ ﺃَﻧَّﻜُﻢْ ﺗَﺘَﻮَﻛَّﻠُﻮﻥَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻠﻪِ ﺣَﻖَّ ﺗَﻮَﻛُّﻠِﻪِ
ﻟَﺮَﺯَﻗَﻜُﻢْ
ﻛَﻤَﺎ ﻳَﺮْﺯُﻕُ ﺍﻟﻄَّﻴْﺮَ , ﺗَﻐْﺪُﻭ ﺧِﻤَﺎﺻﺎً ﻭَﺗَﺮُﻭﺡُ
ﺑِﻄَﺎﻧﺎً
“Seandainya kalian betul-betul bertawakkal pada Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian rizki sebagaimana burung mendapatkan rizki. Burung tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang.” [HR. Ahmad, At-Tirmidzi dan Al Hakim]

BILA IBU BOLEH MEMILIH

Anakku…
Bila ibu boleh memilih…
Apakah ibu berbadan langsing atau berbadan besar karena mengandungmu
Maka ibu akan memilih mengandungmu
Karena dalam mengandungmu ibu merasakan keajaiban dan kebesaran Allah Sembilan bulan nak…
Engkau hidup di perut ibu
Engkau ikut kemana pun ibu pergi
Engkau ikut merasakan ketika jantung ibu berdetak karena kebahagiaan
Engkau menendang rahim ibu ketika engkau merasa tidak nyaman, karena ibu kecewa dan berurai air mata

Anakku…
Bila ibu boleh memilih…
Apakah ibu harus operasi caesar atau ibu harus berjuang melahirkanmu
Maka ibu memilih berjuang melahirkanmu
Karena menunggu dari jam ke jam, menit ke menit kelahiranmu
Adalah seperti menunggu antrian memasuki salah satu pintu surga
Karena kedahsyatan perjuanganmu untuk mencari jalan ke luar ke dunia sangat ibu rasakan
Dan saat itulah kebesaran Allah menyelimuti kita berdua
Malaikat tersenyum di antara peluh dan erangan rasa sakit
Yang tak pernah bisa ibu ceritakan kepada siapapun
Dan ketika engkau hadir, tangismu memecah dunia
Saat itulah…saat paling membahagiakan
Segala sakit dan derita sirna melihat dirimu yang merah,
Mendengarkan ayahmu mengumandangkan adzan,
Kalimat syahadat kebesaran Allah dan penetapan hati tentang junjungan kita Rasulullah di telinga mungilmu

Anakku…
Bila ibu boleh memilih…
Apakah ibu berdada indah atau harus bangun tengah malam untuk menyusuimu…
Maka ibu memilih menyusuimu
Karena dengan menyusuimu ibu telah membekali hidupmu dengan tetesan-tetesan dan tegukan tegukan yang sangat berharga
Merasakan kehangatan bibir dan badanmu di dada ibu dalam kantuk ibu,
Adalah sebuah rasa luar biasa yang orang lain tidak bisa rasakan

Anakku…
Bila ibu boleh memilih…
Duduk berlama-lama di ruang rapat atau duduk di lantai menemanimu menempelkan puzzle
Maka ibu memilih bermain puzzle denganmu

Tetapi anakku…
Hidup memang pilihan…
Jika dengan pilihan ibu, engkau merasa sepi dan merana
Maka maafkanlah nak…
Maafkan ibu…
Maafkan ibu…
Percayalah nak, ibu sedang menyempurnakan puzzle kehidupan kita,
Agar tidak ada satu keping pun bagian puzzle kehidupan kita yang hilang

Percayalah nak…
Sepi dan ranamu adalah sebagian duka ibu
Percayalah nak…
Engkau adalah selalu menjadi belahan nyawa ibu…

MEMANFAATKAN WAKTU

Jadilah orang yang berbahagia, di mana ketika orang sedang sibuk-sibuknya, kita bisa memotong menghadiahkan waktu yang berharga yang kita miliki, buat Allah. Bukankah sejatinya semua punya Allah? Berikut ini kira-kira waktu terbaik kita:
1. Waktu istirahat kita di pertengahan malam, di dua pertiga malam, dan atau di sepertiga malam. Untuk bangun malam. Untuk ruku’ dan sujud, memuji Allah dan memohon pertolongan-Nya. Memohon bimbingan-Nya agar kita tidak kelelahan dalam menjalani hidup ini. Agar anak-anak menjadi anak-anak yang saleh salehah. Agar orang-orang tua kita panjang umur, sehat dan diampuni Allah. Dan masih banyak lagi lah. Wuah, ini berat. Tidak sedikit yang tidak mampu mengorbankan waktu tidurnya. Karena lelahnya mencari dunia, kita lalu tidak bisa bangun malam. Atau karena banyaknya dunia yang di tangan kita, kita lalu berat untuk bangun malam. Suasana pun barangkali sedang nyaman, tidak sedang bermasalah
2. Waktu pagi. Ketika manusia langsung ngebut dengan pekerjaannya, dengan usahanya, dengan kesibukannya, kita korbankan dulu barang sedikit untuk menegakkan shalat dhuha. Dan sebelumnya, ketika manusia langsung berburu dunia, kita malah tahan dulu barang sebentar untuk menegakkan shalat shubuh. Subhaanallaah. Kalau bisa shalat shubuhnya di masjid. Masya Allah. Kita ajak anak-anak dan istri.
3. Jam zuhur. Jam sibuk-sibuknya. Traffic lagi tinggi-tingginya. Ketika pelanggan lagi banyak-banyaknya, kita ridho meninggalkannya demi Yang Memiliki diri kita dengan seluruh pemberian-Nya. Ga usah khawatir degan berkurangnya perniagaan. Lihat saja Mekkah dan madinah. Ketika jam shalat, mereka tutup. Akhirnya apa? Allah malah memberikan international buyer, pembeli internasional. Bukan sekedar local buyer
4. Jam ashar. Jam ngantuk. Kita segarkan diri kita, dengan air wudhu. Kita segarkan batin kita, jiwa kita, raga kita, dengan shalat ashar. Sungguh banyak kemuliaan bacaan-bacaan habis ashar. Insya Allah akan saya banyak tulis di website. Jam macet. Jam pulang. Banyak manusia yang terjebak di kemacetan, karena berburu pulang cepat. Akhirnya tetap saja kemaleman karena memang macet. Kalau memang macet-macet juga, kenapa tidak kita tunggu saja sampe maghrib usai. Atau syukur-syukur kita sekalian selesaikan isya, baru kita pulang. Kalau tetap khawatir, misalkan pulang jam 5, maka jam 18  mampir ke masjid. Jalan lagi usai maghrib. Lalu, mampir lagi jelang isya. Dan jalan lagi setelah shalat isya. Repot memang. Tapi insya Allah yang begini ini yang kelak akan Allah istimewakan. Manusia mau lelah, mau cape. Tapi kali ini cape dan lelahnya, buat Allah. Bukan seperti selama ini yang untuk dunianya, untuk perutnya, untuk kesombongannya, untuk hawa nafsunya.

MEMULIAKAN TAMU

Suatu hari Rasulullah kedatangan seorang tamu di rumahnya. Dari penampilan tamu itu bisa langsung ditebak, bahwa ia orang yang sangat miskin. Waktu itu Rasulullah sedang bercakap-cakap dengan tamunya. “Saya sedang dalam kesempitan, ya Rasulullah. Tak ada sesuatu pun yang aku punyai,” jelas tamu itu ketika ia dipersilahkan masuk ke dalam rumah oleh Rasulullah. Begitu tamu itu duduk, Rasulullah langsung beranjak ke belakang menemui istrinya. Kepada istrinya dikatakannya bahwa ada tamu yang dalam kesusahan datang, “Kita sendiri tidak mempunyai apa-apa yang bisa kita berikan, yang ada hanya air putih saja.”
Mendengar penjelasan istrinya itu, Rasulullah sedikit kecewa karena ia tak berkesempatan menjamu tamunya yang sedang dalam kesulitan. Rasulullah balik ke ruang tamu menemui para sahabatnya. “Siapa diantara kalian yang bersedia menjamu tamu malam ini ? Ia akan beroleh rahmat Allah S.W.T.” “Saya, ya Rasulullah. Biarlah tamu itu menginap di rumahku saja.” Salah satu diantara para sahabat Nabi itu menawarkan diri, yaitu orang Anshar.
Orang Anshar itu pulanglah. Sesampai di rumah ia menemui istrinya dan bertanya kepadanya tentang apa yang mereka miliki hari itu. “Ya, istriku. Tadi aku menyanggupi tawaran Rasulullah untuk menjamu tamunya yang sedang dalam kesulitan malam ini. Adakah makanan yang dapat kita jamukan untuk tamu kita itu ?”
“Sesungguhnya yang kita miliki cuma nasi untuk anak kita saja. Kalau ini kita sajikan, maka anak kita tidak dapat makanan malam ini.”
“Kalau begitu bujuklah anak kita untuk segera tidur agar ia tidak merasa kelaparan.”
“Tapi bagaimana ya, Nasi itu tinggal sedikit saja, tidak cukup untuk berdua.”
“Begini saja, waktu tamu itu sudah datang, dan pada saat saya persilahkan makan, kamu pura-pura tidak sengaja mengibaskan lilin itu sehingga padam. Nanti, tamu itu kita persilahkan makan pada waktu gelap. Saya akan menemaninya sambil berpura – pura makan juga. Bila selesai ia makan, maka usahakan lilin sudah bisa dinyalakan.”
“Baiklah ya suamiku, aku akan melakukan hal yang seperti itu.”
Pada waktu tamu itu datang, maka dilaksanakanlah sandiwara tersebut. Esok harinya ketika orang Anshar dan istrinya bertemu Nabi, sebelum sempat berkata apa – apa. Nabi langsung tersenyum sambil berkata kepda mereka, “Aku benar-benar kagum dan hormat terhadap usaha kalian berdua kepada tamumu semalam itu.”

CEMBURU DALAM RUMAH TANGGA

Menurut ‘Abdullah bin Syaddad, ada dua jenis ghirah. Pertama, ghirah yang dengannya seseorang dapat memperbaiki keadaan keluarga. Kedua, ghirah yang dapat meyebabkannya masuk neraka.
Ditinjau dari nilainya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, cemburu ada dua macam. Dalam sebuah hadist disebutkan, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi was allam bersabda:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ: إِنَّ مِنَ الْغِيْرَةَ مَا يُحِبُّ اللهُ وَمِنْهَا مَا يَبْغُضُ اللهُ فَالْغِيْرَةُ الَّتِيْ يُحِبُّ اللهُ الْغِيْرَةُ فِيْ الرَّيْبَةِ وَالْغِيْرَةُ الَّتِيْ يَبْغُضُ اللهُ الْغِيْرَةُ فِيْ غَيْرِ الرَّيْبَةِ
“Ada jenis cemburu yang dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala, ada pula yang dibenci-Nya. Yang disukai, yaitu cemburu tatkala ada sangkaan atau tuduhan. Sedangkan yang dibenci, yaitu adalah yang tidak dilandasi keraguan” [1]
Disebutkan di dalam hadits, bahwa Saad bin Ubadah Radhiyallahu ‘anhu berkata:
قَالَ سَعْدُ بْنُ عُبَادَةَ : لَوْ رَأَيْتُ رَجُلاً مَعَ امْرَأَتِيْ لَضَرَبْتُهُ بِالسَّيْفِ غَيْرَ مُصَفِّحٍ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَتَعْجَبُوْنَ مِنْ غِيْرَةِ سَعْدٍ لأَنَا أَغْيَرُ مِنْهُ وَاللهُ أَغْيَرُ مِنِّيْ
“Sekiranya aku melihat seorang laki-laki bersama dengan isteriku, niscaya akan kutebas ia dengan pedang,” ucapan itu akhirnya sampai kepada Rasulullah. Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Apakah kalian merasa heran terhadap kecemburuan Saad? Demi Allah, aku lebih cemburu daripadanya, dan Allah lebih cemburu daripadaku.”[2]
Ditinjau dari sisi yang lain, cemburu ada dua macam. Pertama, ghirah lil mahbub (cemburu membela orang yang dicintai). Kedua, ghirah ‘alal-mahbub (cemburu membela agar jangan sampai ada orang lain yang juga mencintai orang yang dicintainya).
Ghirah lil mahbub adalah pembelaan seseorang terhadap orang yang dicintai, disertai dengan emosi demi membelanya, ketika hak dan kehormatan orang yang dicintai diabaikan atau dihinakan. Dengan adanya penghinaan tersebut, ia marah demi yang dicintainya, kemudian membelanya dan berusaha melawan orang yang menghina tadi. Inilah cemburu sang pecinta yang sebenarnya. Dan ini pula ghirah para rasul dan pengikutnya terhadap orang-orang yang menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala, serta melanggar syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jenis ghirah inilah yang semestinya dimiliki seorang muslim, untuk membela Allah Subhanahu wa Ta’ala, Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan agama-Nya. Adapun ghirah ‘alal-mahbub adalah kecemburuan terhadap orang lain yang ikut mencintai orang yang dicintainya. Jenis ghirah inilah yang hendak kita kupas pada pembahasan ini.

BEBERAPA CONTOH KECEMBURUAN SEBAGIAN ISTERI NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Disebutkan dalam sebuah riwayat, Anas Radhiyallahu ‘anhu berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ بَعْضِ نِسَائِهِ فَأَرْسَلْتْ إِحْدَى أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِيْنَ بِصَحْفَةٍ فِيْهَا طَعُامٌ فَضَرَبَتِ الَّتِيْ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ بَيْتِهَا يَدَّ الْخَادِمِ فَسَقَطَتِ الصَّحْفَةُ فاَنْفَلَقَتْ فَجَمَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلْقَ الصَّحْفَةِ ثُمَّ جَعَلَ يَجْمَعُ فِيْهَا الطَّعَامَ الَّذِيْ كَانَ فِيْ الصَّحْفَةِ وَيَقُوْلُ: غَارَتْ أُمُّكُمْ ثُمَّ حُبِسَ الْخَادِمُ حَتَّى أَتَى بِصَحْفَةٍ مِنْ عِنْدِ الَّتِيْ هُوَ فِيْ بَيْتِهَا فَدَفَعَ الصَّحْفَةَ الصَّحِيْحَةَ إِلَى الَّتِيْ كَسَّرَتْ صَحْفَتَهَا وَأَمْسَكَ الْمَكْسُوْرَةَ فِيْ بَيْتِ الَّتِيْ كَسَّرَتْ
“Suatu ketika Nabi di rumah salah seorang isteri beliau. Tiba-tiba isteri yang lain mengirim mangkuk berisi makanan. Melihat itu, isteri yang rumahnya kedatangan Rasul memukul tangan pelayan pembawa makanan tersebut, maka jatuhlah mangkuk tersebut dan pecah. Kemudian Rasul mengumpulkan kepingan-kepingan pecahan tersebut serta makanannya, sambil berkata: “Ibu kalain sedang cemburu,” lalu Nabi menahan pelayan tersebut, kemudian beliau memberikan padanya mangkuk milik isteri yang sedang bersama beliau untuk diberikan kepada pemiliki mangkuk yang pecah. Mangkuk yang pecah beliau simpan di rumah isteri yang sedang bersama beliau” [3]
Ibnu Hajar menjelaskan bahwa isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memecahkan mangkuk adalah ‘Aisyah Ummul Mu’minin, sedangkan yang mengirim makanan adalah Zainab binti Jahsy.[4]
Dalam hadist yang lain diriwayatkan:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ: مَا غِرْتُ عَلَى امْرَأَةٍ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا غِرْتُ عَلَى خَدِيْجَةَ لِكَثْرَةِ ذِكْرِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِيَّاهَا وَثَنَائِهِ عَلَيْهَسا

“Dari ‘Aisyah: “Aku tidak cemburu kepada seorang wanita terhadap Rasulullah sebesar cemburuku kepada Khadijah, sebab beliau selalu menyebut namanya dan memujinya”[5].
Dalam sebuah riwayat disebutkan, ‘Aisyah berkata: “Tatkala pada suatu malam yang Nabi berada di sampingku, beliau mengira aku sudah tidur, maka beliau keluar. Lalu aku (pun) pergi mengikutinya. (Aku menduga beliau pergi ke salah satu isterinya dan aku mengikutinya sehingga beliau sampai di Baqi’). Beliau belok, aku pun belok. Beliau berjalan cepat, aku pun berjalan cepat, akhirnya aku mendahuluinya. Lalu beliau bersabda: “Kenapa kamu, hai ‘Aisyah, dadamu berdetak kencang?”Lalu aku mengabarkan kepada beliau kejadian yang sesungguhnya, beliau bersabda: “Apakah kamu mengira bahwa Allah dan Rasul-Nya akan menzhalimimu?”[6]

NASIHAT BAGI WANITA DALAM MENGENDALIKAN PERASAAN CEMBURU
Sebagaimana fenomena yang kita lihat dalam kehidupan rumah tangga pada umumnya, tampaklah bahwa sifat cemburu itu sudah menjadi tabiat setiap wanita, siapun orangnya dan bagaimanapun kedudukannya. Akan tetapi, hendaklah perasaan cemburu ini dapat dikendalikan sedemikian rupa, sehingga tidak menimbulkan masalah yang bisa menghancurkan kehidupan rumah tangga.
Berikut beberapa nasihat yang perlu diperhatikan oleh para isteri untuk menjaga keharmonisan kehidupan rumah tangga, sehingga tidak ternodai oleh pengaruh perasaan cemburu yang berlebihan.
1). Seorang isteri hendaklah bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bersikap pertengahan dalam hal cemburu terhadap suami. Sikap pertengahan dalam setiap perkara merupakan bagian dari kesempurnaan agama dan akal seseorang. Dikatakan oleh Nabi Shallalahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha : “Hai ‘Aisyah, bersikaplah lemah-lembut, sebab jika Allah menginginkan kebaikan pada sebuah keluarga, maka Dia menurunkan sifat kasih-Nya di tengah-tengah keluarga tersebut [7]“. Dan sepatutnya seorang isteri meringankan rasa cemburu kepada suami, sebab bila rasa cemburu tersebut melampaui batas, bisa berubah menjadi tuduhan tanpa dasar, serta dapat menyulut api di hatinya yang mungkin tidak akan pernah padam, bahkan akan menimbulkan perselisihan di antara suami isteri dan melukai hati sang suami. Sedangkan isteri akan terus hanyut mengikuti hawa nafsunya.
2). Wanita pecemburu, lebih melihat permasalahan dengan perasaan hatinya daripada indera matanya. Ia lebih berbicara dengan nafsu emosinya dari pada pertimbangan akal sehatnya. Sehingga sesuatu masalah menjadi berbalik dari yang sebenarnya. Hendaklah hal ini disadari oleh kaum wanita, agar mereka tidak berlebihan mengikuti perasaan, namun juga mempergunakan akal sehat dalam melihat suatu permasalahan.
3). Dari kisah-kisah kecemburuan sebagian isteri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut, bisa diambil pelajaran berharga, bahwa sepatutnya seorang wanita yang sedang dilanda cemburu agar menahan dirinya, sehingga perasaan cemburu tersebut tidak mendorongnya melakukan pelanggaran syari’at, berbuat zhalim, ataupun mengambil sesuatu yang bukan haknya. Maka janganlah mengikuti perasaan secara membabi buta.
4). Seorang isteri yang bijaksana, ia tidak akan menyulut api cemburu suaminya. Misalnya, dengan memuji laki-laki lain di hadapannya atau menampakkan kekaguman terhadap penampilan laki-laki lain, baik pakainnya, gaya bicaranya, kekuatan fisiknya dan kecerdasannya. Bahkan sangat menyakitkan hati suami, jika seorang isteri membicarakan tentang suami pertamanya atau sebelumnya. Rata-rata laki-laki tidak menyukai itu semua. Karena tanpa disadarinya, pujian tersebut bermuatan merendahkan “kejantanan”nya, serta mengurangi nilai kelaki-lakiannya, meski tujuan penyebutan itu semua adalah baik. Bahkan, walaupun suami bersumpah tidak terpengaruh oleh ungkapannya tersebut, tetapi seorang isteri jangan melakukannya. Sebab seorang suami tidak akan bisa melupakan itu semua selama hidupnya.
5). Ketahuilah wahai para isteri! Bahwa yang menjadi keinginan laki-laki di lubuk hatinya adalah jangan sampai ada orang lain dalam hati dan jiwamu. Tanamkan dalam dirimu bahwa tidak ada lelaki yang terbaik, termulia, dan lainnya selain dia.
6). Wahai, para isteri! Jadikanlah perasaan cemburu kepada suami sebagai sarana untuk lebih mendekatkan diri kepadanya. Jangan menjadikan ia menoleh kepada wanita lain yang lebih cantik darimu. Berhias dirilah, jaga penampilan di hadapannya agar engkau selalu dicintai dan disayanginya. Cintailah sepenuh hatimu, sehingga suami tidak membutuhkan cinta selain darimu. Bahagiakan ia dengan seluruh jiwa, perasaan dan daya tarikmu, sehingga suami tidak mau berpisah atau menjauh darimu. Berikan padanya kesempatan istirahat yang cukup. Perdengarkan di telinganya sebaik-baik perkataan yang engkau miliki dan yang paling ia senangi.
7). Wahai, para isteri! Janganlah engkau mencela kecuali pada dirimu sendiri, bila saat suamimu datang wajahnya dalam keadaan bermuram durja. Jangan menuduh –salah- kecuali pada dirimu sendiri, bila suamimu lebih memilih melihat orang lain dan memalingkan wajah darimu. Dan jangan pula mengeluh bila engkau mendapatkan suamimu lebih suka di luar daripada duduk di dekatmu. Tanyakan kepada dirimu, mana perhatianmu kepadanya? Mana kesibukanmu untuknya? Dan mana pilihan kata-kata manis yang engkau persembahkan kepadanya, serta senyum memikat dan penampilan menawan yang semestinya engkau berikan kepadanya? Sungguh engkau telah berubah di hadapannya, sehingga berubah pula sikapnya kepadamu. Lebih dari itu, engkau melemparkan tuduhan terhadapnya karena cemburu butamu.
8). Dan ingatlah wahai para isteri! Suamimu tidak mencari perempuan selain dirimu. Dia mencintaimu, bekerja untukmu, hidup senantiasa bersamamu, bukan dengan yang lainnya. Bertakwalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, ikutilah petunjuk-Nya dan percayalah sepenuhnya kepada suamimu setelah percaya kepada Allah yang senantiasa menjaga hamba-hamba-Nya yang selalu menjaga perintah-perintah-Nya, lalu tunaikanlah yang menjadi kewajibanmu. Jauhilah perasaan was-was, karena setan selalu berusaha untuk merusak dan mengotori hatimu
TIDAK BOLEHKAH CEMBURU?
Barangkali, di antara para isteri ada yang membantah dan berkata, adalah kebodohon apabila seorang isteri tidak memiliki rasa cemburu pada suaminya, padahal cemburu ini merupakan ungkapan cintanya kepada suaminya, sekaligus sebagai bumbu penyedap yang bisa menimbulkan keharmonisan, kemesraan dan kepuasan batin dalam kehidupan rumah tangga.
Ya, benar! Akan tetapi, apakah pantas bagi seorang isteri yang berakal sehat, jika ia tenggelam dalam rasa cemburunya, sehingga menenggelamkan bahtera kehidupan rumah tangganya, mencabik-cabik jalinan cinta dan kasih-sayang dalam keluarganya, bahkan ia sampai terjangkiti penyakit depresi, buruk sangka yang dapat membawanya kepada penyakit psikis yang kronis, perang batin yang tidak berkesudahan, dan akhirnya merusak akal sehatnya?
Memang sangat tipis, perbedaan antara yang benar dengan yang salah, antara yang sakit dengan yang sehat, antara cemburu yang penuh dengan kemesraan dengan cemburu yang membakar dan menyakitkan hati dikarenakan penyakit kejiwaan yang berat. Namun, tetap ada perbedaan antara cemburu dalam rangka membela kehormatan diri dan kelembutan karena didasari rasa cinta kepada suami, dengan cemburu yang merusak dan membinasakan. Kalau begitu, cemburulah wahai para isteri, dengan kecemburuan yang membahagiakan suamimu, dan menampakkan ketulusan cintamu kepadanya! Tetapi hindarilah kecemburuan yang merusak dan menghancurkan keluargamu. Cemburulah demi memelihara harga diri dan kehormatan suami. Dan lebih utama lagi, cemburu untuk membela agama Allah.
Isteri yang selalu memantau kegiatan suaminya, mencari-cari berita tentangnya, serta selalu menaruh curiga pada setiap aktivitas suaminya, bahkan cemburu kepada teman dan sahabatnya, maka inilah isteri yang bodoh. Dengan sifatnya tersebut, maka kehidupan rumah tangganya, rasa cinta, kepercayaan di antara keduanya akan terputus dan hancur. Dan bagi wanita yang rasa cemburunya tersulut karena suatu sebab, kemudian ia merasa hal itu tidak pada tempatnya, hendaklah ia menyadari kesalahannya, lalu melakukan perbaikan atas sikapnya tersebut. Dan yang paling penting adalah, tidak mengulangi lagi kesalahan serupa di kemudian hari.

KECEMBURUAN LAKI-LAKI
Di antara salah satu adab pergaulan antara suami-isteri, yaitu seorang suami seharusnya bersikap pertengahan dalam hal kecemburuan kepada isteri, sehingga tidak terlalu berlebih-lebihan, atau sebaliknya menganggap remeh sikap cemburu. Hendaknya ia melakukan tindakan preventif. Jangan beriskap lengah terhadap hal-hal yang perlu dikhawatirkan bahayanya. Tetap menjaga isterinya, namun dalam batas-batas yang telah digariskan syari’at. Hal seperti ini dan semisalnya, termasuk jenis cemburu yang terpuji. Adapun sikap cemburu suami yang berlebih-lebihan serta prasangka yang tidak dilandasi bukti dan akal sehat, dan juga selalu mengontrol dan mengawasi isteri dalam segala perbuatannya, maka ini termasuk perbuatan yang tercela lagi diharamkan.
Allah berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain” [al Hujurat/49:12]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melarang para suami mencari-cari kesalahan isteri. Sebagaimana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tegaskan dalam hadits: “Ada jenis cemburu yang Allah membencinya. Yaitu kecemburuan suami kepada isteri yang tidak disertai adanya indikasi kuat yang mendukungnya”.[8]
Barangsiapa mengabaikan sifat cemburu yang bisa lebih menguatkan hubungan cinta di antara suami isteri, maka ia hidup dengan hati yang rusak dan melenceng dari fitrahnya. Dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada ad-dayyuts pada hari kiamat, dan tidak akan memasukkannya ke dalam surga”.[9]

Dayyuts adalah, seorang suami yang tidak memiliki sifat cemburu dan membiarkan isterinya berbuat maksiat. Dan sebaliknya, suami yang terlalu berlebihan rasa cemburunya akan hidup sengsara dan tersiksa, bahkan jarang seorang isteri yang mampu hidup lama dengannya, karena selalu merasa diawasi dan merasa tertekan.
Sikap yang wajar dalam masalah ini akan membawa dampak positif, terpeliharanya harga diri, kehormatan dan tercapainya kehidupan yang berbahagia. Sikap pertengahan dalam menyikapi rasa cemburu, artinya ia menjauh dari berprasangka buruk, tidak mencari-cari satu perkara secara mendetail bila tidak perlu, menghindari sikap tergesa dalam menerima berita -yang sengaja dihembuskan oleh orang yang mempunyai niat buruk- tanpa menyaringnya, berhati-hati terhadap perkara yang dikhawatirkan membahayakan, dan menjaga diri dari perilaku yang merusak. Jika hal itu dapat dipenuhi, maka itulah keutamaan yang sebenarnya. Sebaliknya, apabila tidak, maka akan membawa malapetaka bagi kehidupan rumah tangga.
Terkadang ada di antara para suami yang terjangkiti sifat cemburu buta. Dia merasa cemburu (pada isterinya) dari semua orang, sehingga isteri dilarang mengunjungi atau dikunjungi, meski kunjungan dari orang-orang mulia dan terhormat. Suami tidak bisa menerima, jika pintu rumahnya terbuka. Dia tidak merasa nyaman jika ada seseorang mengunjungi isterinya, tanpa sepengetahuannya. Atau saat ia tidak berada di rumah. Jika ia berangkat kerja, seluruh pintu ditutup, kunci-kunci dibawanya, dan setelah pulang seluruh kamar dikelilingi dan diamati. Sampai-sampai bila orang tua atau mahram dari isterinya datang berkunjung, maka harus menunggu di luar rumah sampai suami yang pecemburu itu tiba. Sungguh ini bisa menjadikan si isteri dan kerabatnya merasa tersinggung dan marah karena merasa tidak dihargai.
Kepada suami yang memiliki sifat demikian, rasanya lebih adil dan tepat jika dikatakan kepadanya: “Yang engkau lakukan itu, bukan termasuk cemburu yang benar menurut agama. Juga bukan kecemburuan seorang yang benar-benar disebut laki-laki. Itu tidak lebih sekedar kekhawatiran yang berlebihan, sehingga dengannya engkau telah membelenggu isterimu dari hak syar’inya. Dalam keadaan demikian, isterimu seperti bukan makhluk hidup padahal bukan pula benda mati. Engkau telah memadamkan cahaya kemuliaan dan kehormatannya. Nama baiknya akan menjadi pembicaraan di tengah publik. Sekiranya engkau termasuk orang muslim yang benar, yang berpegang pada akhlak dan etika Islam, tentu engkau akan melaksanakan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain”. [al Hujurat/49:12].
Sebaliknya, ada seorang suami yang terpesona dengan peradaban modern dan kemewahan duniawi. Maka diajaklah isterinya pergi ke tempat-tempat hiburan, diberikanlah kebebasan kepada isterinya untuk berkenalan dengan orang lain, yang baik maupun yang buruk akhlaknya. Hingga akhirnya si isteri pun melakukan hal-hal yang dilarang agama. Ternyata kemudian, si suami merasa cemburu. Sesampai di ke rumah, dihitunglah kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat isterinya, hingga terjadilah perselisihan di antara mereka. Namun suami ini tetap lalai dan belum menyadari keteledorannya. Dia selalu saja membuka pintu rumahnya bagi siapa pun, kawan-kawan atau koleganya. Dia tidak merasa berdosa jika mereka datang saat ia tidak ada. Hingga akhirnya, jika telah ada berita buruk tentang kehormatan isterinya, dia baru menyadari kelengahannya, cemburu lagi, marah besar dan naik pitam.
Wahai, suami yang lalai! Kecemburuanmu tak lagi bermanfaat setelah semua petaka itu terjadi. Kecemburuanmu adalah kecemburuan yang dibenci, yang tidak membuahkan apa-apa selain kehancuran mahligai rumah tanggamu. Maka tinggalkanlah kecemburuanmu yang palsu itu. Gantilah dengan kecemburuan yang dibenarkan agama, yakni kecemburuan lelaki sejati, kecemburuan yang bijak dan tidak membabi-buta. Itulah kecemburuan yang dicintai Allah, yang tidak mungkin menjadi sebab timbulnya hal-hal negatif di kalangan orang-orang baik dan terhormat.
Dengan hidayah Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan di atas nilai-nilai yang utama inilah, kebahagiaan hidup bagi seluruh lapisan masyarakat bisa tercapai.
Wallahu a’lam.

Maraji’ Utama :
- Tuhfatul-‘Arus, az-Zawaj as-Said fil-Islam, Majdi Muhammad asy-Syahawi, Aziz Ahmad al Aththar, Maktabah at-Taufiqiyyah.
- Tuhfatul-‘Arus aw az-Zawaj al Islamy as-Said, Mahmud Mahdi al-Istanbuli, Darul-Ma’rifah, Darul-Baidha’, Cetakan ke-5, Tahun 1406.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun X/1428H/2007M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Sunan al Baihaqi (7/308).
[2]. Hadist riwayat al Bukhari (5/2002).
[3]. Hadist riwayat al Bukhari (5/2003).
[4]. Lihat Fathul Bari (7/149 dan 9/236).
[5]. Hadist riwayat al Bukhari (5/2004).
[6]. Hadist riwayat Muslim (2/670), secara ringkas dari hadits yang panjang.
[7]. Hadist riwayat Ahmad. Lihat Majmu’ Zawaid (8/19).
[8]. Hadist riwayat al Bazzar dan ath-Thabrani. Lihat Majma’ az-Zawaid (7/320).
[9]. Hadits riwayat Ahmad (2/69, 128, 134).

HIASI DIRIMU DENGAN SIFAT MALU

Dalam kitab “Madarijus Saalikin”, Ibnul Qayyim membagi malu menjadi 10 kriteria malu.
Pertama, malu karena berbuat salah, sebagaimana malunya Nabi Adam As yang melarikan diri dari surga, seraya ditegur oleh Allah SWT: “Mengapa engkau lari dari-Ku wahai Adam?” Adam kemudian menjawab: “Tidak wahai Rabbi, hanya aku malu terhadap Engkau.”
Kedua, malu karena keterbatasan diri seperti malunya para malaikat yang senantiasa bertasbih siang dan malam. Pada hari kiamat mereka berkata: “Maha suci Engkau, kami tidak menyembah kepeda-Mu sebenar-benarnya.”
Ketiga, malu karena ma’rifah yang mendalam kepada Allah SWT karena keagungan Allah SWT atas seorang hamba seperti malunya Nabi Nuh As ditegor Allah karena meminta keselamatan anaknya yang kafir.
Keempat, malu karena kehalusan budi, seperti malu Rasulullah Saw kepada para Sahabat dalam walimahnya dengan Zainab.
Kelima, malu karena kesopanan, seperti Ali bin Thalib malu bertanya kepada Rasulullah tentang hukum madzi.
Keenam, malu karena merasa hina kepada Allah SWT, seperti malunya para Rasul ulul azhmi untuk meminta syafaat kubra di padang mahsyar karena kebijakan / kesalahan yang pernah diperbuatnya.
Ketujuh, malu karena cinta kepada Allah SWT, bahkan ketika sendirian tidak ada seorangpun, sehingga ia selalu melakukan muraqabah, seperti kisah Nabi Musa As untuk tidak mandi dalam keadaan telanjang.
Kedelapan, malu karena ‘ubudiyah yang bercampur antara cinta, harap, dan takut. Seorang hamba akan malu karena yang disembahnya terlalu Agung padahal dirinya terlalu hina, sehingga mendorongnya untuk selalu ibadah.
Kesembilan, malu karena kemulian seorang hamba yang wara’ dan muru’ah sehingga biarpun ia telah memberi dan berkorban dengan mengeluarkan sesuatu yang baik, toh ia masih marasa malu karena kemuliaan dirinya. Seperti malunya Umar bin Khattab melihat kedermawanan Abu Bakar.
Kesepuluh, malu terhadap diri sendiri karena keagungan jiwa seorang hamba atas keridhaan perbuatan baik dirinya dan merasa puas terhadap kekurangan orang lain. Seolah-olah mereka mempunyai dua jiwa, yang satu malu dengan yang lainnya.
Tip Menjaga Sifat Malu
Dari Abu Mas’ud Uqbah bin Amr Al Anshary Al Badry r.a dia berkata, Rasulullah SAW bersabda; “Sesungguhnya ungkapan yang telah dikenal orang-orang dari ucapan nabi-nabi terdahulu adalah: Jika engkau tidak malu perbuatlah apa yang engkau suka.” [HR Bukhori]
Hadits di atas mengisyaratkan bila rasa malu telah hilang dalam hati seseorang, maka dia telah terjerumus menjadi manusia yang hilang akalnya, sehingga berbuat sesuka hatinya tanpa mengindahkan lagi aturan Allah SWT maupun kehormatan dirinya.
Di bawah ini beberapa cara agar sifat malu masih tertanam dalam diri kita.
1. Berdoa tiap saat agar Allah terus memberi hidayah dan taufiq Nya. Serta berharap agar terus-menerus dalam pengawasan dan lindungan Allah
Diriwayatkan dari Ibnu Umar, Rasulullah bersabda: ”Sesungguhnya Allah yang Maha Mulia dan Maha Agung, bila berkehendak menjatuhkan seseorang maka Allah cabut dari orang itu rasa malunya. Ia hanya akan menerima kesusahan (dari orang banyak yang marah kepadanya). Melalui ungkapan kemarahan itu, hilang pulalah kepercayaan orang kepadanya.”
Mudah-mudahan diri dan keluarga kita terhindar dari tercabutnya rahmat Allah, sehingga Allah tidak mencabut rasa malu yang kita miliki.
2. Munculkanlah setiap saat perasaan malu jika ingin melakukan hal-hal yang dilarang Allah
Rasa malu pada sesama akan mencegah seseorang dari melakukan perbuatan yang buruk dan akhlak yang hina. Sedangkan rasa malu kepada Allah akan mendorong untuk menjauhi semua larangan Allah dalam setiap kondisi dan keadaan, baik ketika bersama banyak orang ataupun saat sendiri tanpa siapa-siapa menyertai.
Hendaklah tertanam setiap saat perasaan malu kepada Allah Ta’ala, dan kalau pun sudah tidak malu kepada Allah Ta’ala, setidaknya malu kepada malaikat yang tiap saat mencatat amal pebuatan kita. Jika tidak malu kepada malaikat, malulah kepada manusia, atasan kita, teman-teman kita. Jika tidak malu kepada manusia, malulah kepada keluarga di rumah, kalau pun tidak malu kepada keluarga, maka malulah kepada diri sendiri dan hendaklah jujur bahwa apa yang dilakukannya adalah kesalahan, minimal meragukan. Namun malu yang benar, pamrihnya hanya kepada Allah, bukan pada yang lain.
3. Pupuklah iman dalam hati dan diri kita. Sebab antara iman dan rasa malu itu saling bergandengan
Nabi bersabda, الحياء و الإيمان قرنا جميعا فإذا رفع أحدهما رفع الآخر
“Rasa malu dan iman itu terikat menjadi satu. Jika yang satu hilang maka yang lain juga akan hilang.” [HR. Hakim]
4. Ingatlah kematian jika akan melakukan maksiat
Nabi menjelaskan bahwa tanda memiliki rasa malu kepada Allah adalah menjaga anggota badan agar tidak digunakan untuk bermaksiat kepada Allah. Mengingat kematian, adalah cara tepat mencegah perbuatan maksiat.

“Hendaklah kalian malu kepada Allah Azza wajalla dengan sebenar-benarnya malu. Barangsiapa malu kepada Allah Azza wajalla dengan sebenar-benarnya malu, maka hendaklah ia menjaga kepala dan apa yang ada padanya, hendaklah ia menjaga perut dan apa yang dikandungnya, dan hendaklah ia selalu ingat kematian dan busuknya jasad. Barangsiapa menghendaki kehidupan akhirat hendaklah ia meninggalkan perhiasan dunia. Dan barangsiapa yang mengerjakan yang demikian, maka sesungguhnya ia telah malu kepada Allah Azzawajalla dengan sebenar-benarnya malu.” [HR. at-Tirmidzi, Ahmad, al-Hakim].
Semoga, kita termasuk diantara segelintir manusia yang masih memilih rasa malu.

JEBAKAN UNTUK SEEKOR TIKUS

Sepasang suami dan isteri petani pulang ke rumah setelah berbelanja. Ketika mereka membuka barang belanjaan, seekor tikus memperhatikan gelagat sambil menggumam
“hmmm…makanan apa lagi yang dibawa mereka dari pasar ?”.
Ternyata yang dibeli oleh petani hari adalah perangkap tikus. Sang tikus naik panik bukan kepalang. Ia bergegas lari ke sarang dan berteriak,
” Ada perangkap tikus di rumah….di rumah. Sekarang ada perangkap tikus….”
Ia pun mengadu kepada ayam dan berteriak,
” Ada perangkap tikus !”
Sang Ayam berkata,
” Tuan Tikus ! Aku turut bersedih tapi ia tak ada hubungannya dengan aku.”
Sang Tikus lalu pergi menemui seekor Kambing sambil berteriak seperti tadi.  Sang Kambing pun menjawab,
“Aku pun turut bersimpati…tapi tidak ada yang bisa aku perbuat Lagi pula tidak ada hubunganya dengan aku. “
Tikus lalu menemui Sapi. Ia mendapat jawaban sama.
” Maafkan aku. Tapi perangkap tikus tidak berbahaya buat aku sama sekali. Hewan sebesar aku tak kan bisa masuk perangkap tikus. “
Dengan rasa kecewa ia pun berlari ke hutan menemui Ular. Sang ular berkata
” Eleh engkau ini…Perangkap Tikus yang sekecil itu takkan bisa membahayakan aku.”
Akhirnya Sang Tikus kembali ke rumah dengan pasrah karena mengetahui ia akan menghadapi bahaya seorang diri. Suatu malam, pemilik rumah terbangun mendengar suara berdetak perangkap tikusnya berbunyi menandakan umpan dah mengena.
Ketika melihat perangkap tikusnya, ternyata seekor ular berbisa yang jadi mangsa. Buntut ular yang terperangkap membuat ular semakin ganas dan menyerang isteri pemilik rumah. Walaupun si Suami sempat membunuh ular berbisa tersebut, isterinya tidak sempat diselamatkan. Si suami pun membawa isterinya ke rumah sakit.
Beberapa hari kemudian isterinya sudah boleh pulang namun tetap saja demam. Isterinya lalu minta dibuatkan sup cakar ayam oleh suaminya kerana percaya sup cakar ayam bisa mengurangi demam. Tanpa fikir panjang si Suami pun dengan segera menyembelih ayamnya untuk membuat sup cakar ayam.
Beberapa hari kemudian sakitnya tidak kunjung reda. Seorang teman menyarankan untuk makan hati kambing. Ia lalu menyembelih kambingnya untuk mengambil hatinya.Masih juga isterinya tidak sembuh-sembuh dan akhirnya meninggal dunia.
Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Banyak sungguh orang datang melawat jenazahnya. Karena rasa sayang suami pada isterinya, tak sampai hati pula dia melihat orang ramai tak dijamu apa-apa. Tanpa berfikir panjang dia pun menyembelih sapinya untuk memberi makan orang-orang yang berziarah.
Dari kejauhan…
Sang Tikus menatap dengan penuh kesedihan.
Beberapa hari kemudian ia melihat Perangkap Tikus tersebut sudah tidak digunakan lagi.
Rasulullah SAW bersabda yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a yang artinya: “Janganlah saling mendengki, saling menipu, saling membenci, saling memutuskan hubungan dan janganlah sebagian kamu menyerobot transaksi sebagian yang lain, jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim itu saudara muslim yang lain, tidak boleh mendhaliminya, membiarkannya (tidak memberikan pertolongan kepadanya), dan tidak boleh menghinakannya. Taqwa itu berada di sini, beliau (Rasulullah) menunjuk dadanya tiga kali. Cukuplah seorang (muslim) dianggap (melakukan) kejahatan karena melecehkan saudara muslimnya. Setiap muslim atas muslim yang lain haram darahnya, hartanya dan kehormatannya”. (Hadis Arba’in : 25)
Saudaraku ….sesungguhnya Ukhuwah (persaudaraan ) dalam Islam dibangun di atas landasan iman, bukan berdasarkan pertalian darah, suku, hubungan kekerabatan, apalagi nasionalisme kebangsaan yang semu.
Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman yang artinya:
“Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat”. (QS. Al-Hujarat : 10 )
Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan, “ ukhuwah (persaudaraan) Islamiyah dibangun di atas landasan persamaan agama bukan nasab ( hubungan darah)”, karena itu dapat dikatakan bahwa persaudaraan berdasarkan agama lebih kokoh dan tsabit (tetap) dibanding persaudaraan yang dibangun di atas landasan nasab atau hubungan darah, karena sesungguhnya persaudaraan karena nasab akan terputus dengan sendirinya karena perbedaan agama, sementara persaudaraan karena agama tidak terputus dengan terputusnya nasab.
Sementara itu Rasulullah SAW bersabda, artinya:
”Jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara, muslim itu saudara bagi muslim yang lain. ( H.R. Bukhari-Muslim )
Jelaslah sekarang bahwa setiap muslim pada asalnya adalah saudara bagi muslim yang lain. Oleh karena itu hak-hak ukhuwah diantara mereka harus dijaga dengan baik agar tidak menimbulkan kesalah fahaman yang dapat menumbuhkan benih-benih perpecahan yang sekaligus melemahkan barisan perjuangan kaum muslimin.

LIDAHMU ADALAH PEDANGMU

Lidah itu memang lunak tidak bertulang, oleh karena itu orang yang tidak menguasai ilmu beladiri sekalipun bisa bersilat lidah. Lihatlah ..si fulan yang kemarin mengatakan ‘a’ hari ini berbalik mengatakan ‘b’. si fulan yang lain, dusta ibarat gula-gula di lidahnya …
Lidah itu tajam laksana pedang bahkan ia adalah pedang bermata dua. Jika luka tersayat pedang tidaklah susah untuk diobati ..tetapi hati yang terluka ditikam kata-kata kemana kan dicarikan penawarnya? Entah berapa banyak persaudaraan terputus ditebas lidah dan tidak sedikit pula dua yang bersahabat jadi musuh bebuyutan karena tikaman lidah.
Padahal Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama ketika ditanya siapa muslim yang paling afdhol? Beliau shollallahu ‘alaihi wa sallama menjawab, “Orang yang selamat kaum muslimin dari lisan dan tanganya”.[1]
Lidah itu berbisa bagai lidah ular yang bercabang dua. Bahkan ia bisa lebih berbahaya dari pada bisa ular.
Lidah juga bisa berobah menjadi binatang buas yang bahkan memangsa tuannya sendiri. Makanya mulutmu harimaumu …
عن أبي هريرة ، أنه سمع النبي (صلى الله عليه وسلم) يقول : “إن العبد يتكلم بالكلمة ما يتبين فيها يزل بها إلى النار أبعد مما بين المشرق والمغرب”
Dari ia Abu Hurairah rodhiyallahu ‘anhu bahwasanya ia mendengar Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallama berkata, “Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan satu kata yang dia tidak tahu apakah itu baik atau buruk,ternyata menggelincirkannya ke dalam neraka lebih jauh dari antara timur dan barat”.
Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Ketahuilah, bahwasanya seyogyanya bagi setiap mukallaf hendaklah ia menjaga lisannya dari seluruh ucapan kecuali ucapan yang ada maslahat padanya. Apabila berbicara atau diam sama maslahatnya, maka yang sesuai sunnah adalah memilih diam. Karena terkadang ucapan yang mubah dapat menyeret kepada yang haram atau makruh, bahkan galibnya inilah yang terjadi, dan keselamatan tidak ada yang bisa menyamai harganya”.[2]
Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallama bersabda, “Termasuk baiknya islamnya seseorang meninggalkan apa-apa yang tidak berguna baginya”.[3]
Jagalah lidahmu duhai saudara
Jangan sampai ia mematukmu, karena dia adalah ular yang bisa
Tidak sedikit orang yang terkubur dibunuh lidahnya
Padahal para pemberani takut menghadapinya.
Seorang muslim, ketika dia hendak berbicara, ia menimbang apakah berguna atau tidak? Jika tidak berguna dia memilih diam. Jika ternyata berguna dia menimbang lagi ..apakah jika dia diam manfaatnya lebih besar dari pada berbicara?
Imam Asy-Syafi’I berkata, “Jika seseorang berbicara hendaklah ia memikirkan sebelum mengucapkannya, jika nyata maslahatnya ia berbicara dan jika ia ragu, ia diam sampai jelas maslahatnya”.[4]
Beliau juga pernah menasehati sahabat yang juga muridnya, “Hai Robi’, janganlah kamu berbicara dalam perkara yang tidak berguna bagimu. Sesungguhnya jika engkau mengucapkan satu kata, ia akan menguasaimu dan engkau tidak bisa menguasainya”.[5]
Lidah adalah duta hati, jika engkau ingin mengetahui hati seseorang, lihatlah apa yang biasa dia ucapkan. Sesungguhnya itu akan menyingkap apa yang dihatinya, suka atau tidak suka.
Karena lidah itu itu seperti kuali yang mendidih, lidah adalah sendoknya. Perhatikanlah ketika seseorang berbicara, sesungguhnya ia sedang menyendokkan isi hatinya kepadamu, dengan beragam rasa, pahit, manis, asam, pedas dan lainnya. Sebagaimana engkau bisa merasakan masakan dalam kuali dengan lidah. Engkau juga bisa merasakan hati lawan bicaramu dengan gerak lidahnya ketika bertutur-kata.
Sungguh mengherankan, seseorang bisa dengan mudah menjaga dirinya dari memakan yang haram, berbuat zalim, zina, mencuri, meminum khamar dan dari memandang yang haram, tetapi tidak bisa menahan gerak lidahnya yang lunak tidak bertulang. Bahkan seseorang yang zohirnya ta’at, berwibawa, sopan tetapi dia membiarkan lidahnya mengucapkan kalimat yang dianggapnya sepele padahal satu kalimat itu saja cukup untuk mencampakkannya ke dalam neraka.
Suatu malam, di salah satu villa Malibuanai Padang Panjang, saya berkumpul bersama beberapa ikhwan yang sebagian besarnya masih awwam dalam hal agama.
Lalu secara dadakan, mereka meminta kesediaan saya untuk memberikan sepatah dua kata nasehat. Dalam rombongan itu ada seorang pria yang baru mulai belajar mendekatkan diri kepada Allah ..sisa-sisa kelalaian masih membekas diraut wajahnya.
Salah seorang yang tampak agak lebih tua, membuka majelis. Entah apa yang ada dalam benaknya ketika itu, dia berbicara menyindir salah seorang yang hadir – mungkin niatnya baik, ingin mengingatkan si fulan – ia berkata, “Nanti di hari kiamat, pak fulan masuk surga. Saya masih mencari-cari. Saya bertanya, ‘Pak fulan, mana si fulan’[6]. Pak … menjawab di sebelah’. Saya lihat ke sebelah rupanya di neraka”.
Semua yang hadir gelak terbahak-bahak. Rasa sedih, kasihan, marah membuat saya bungkam menghimpun aksara dan petuah yang semoga berguna bagi diri saya dan yang hadir khususnya pembuka acara yang salah kaprah menghunus lidahnya.
Saya jadi teringat hadits Nabi shollallahu ‘alahi wasallama yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Jundub rodhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama bersabda, ‘Seseorang berkata, ‘Demi Allah, Allah tidak mengampuni si fulan’. Maka Allah berkata, “Siapa orang yang lancang mendahuluiku mengatakan bahwa Aku tidak mengampuni fulan? Sesungguhnya Aku telah mengampuni si fulan dan Aku hapus amalanmu”.
Ya Allah …
Satu kalimat saja yang dianggapnya remeh menghapuskan amal-amalnya.
Hilanglah sholat yang dulu dikerjakannya
Lenyaplah puasa yang dulu ditunaikannya
Sirnalah zakat, qiyam dan amal kebajikannya.
Karena kelancangan lidahnya mendahului apa yang menjadi hak Allah.
Bahkan orang yang dipandangnya rendah dan hina, yang dia kira masuk neraka. Malah diampuni Allah Ta’ala.
Dahulu, para salafus sholeh sangat menjaga lidah mereka. Setiap saat mereka meng-hisab kalimat yang mereka ucapkan.
Ibnu Buraidah berkata, “Aku melihat Ibnu Abbas rodhiyallahu ‘anhuma memegang lidahnya lalu berkata, ‘Katakanlah yang baik engkau pasti beruntung. Atau diamlah dari keburukan engkau pasti selamat’. Maka ditanyakan kepadanya, ‘Kenapa engkau mengucapkan ini?’. Ia menjawab, “Aku dengar, bahwasanya seorang manusia tidak lebih menyesal dan marah kepada anggota tubuhnya selain dari pada lidahnya kecuali orang yang mengucapkan kata-kata yang baik atau menukilkan yang baik dengan lidahnya”.
Sahabat Ibnu Mas’ud bersumpah dengan nama Allah yang tidak ada Ilah yang diibadati dengan hak melainkan Dia bahwa tidak ada dimuka bumi ini yang lebih patut untuk dipenjarakan dari pada lidahnya.
Yunus bin ‘Ubaid berkata, “Aku tidak melihat seseorang yang lidahnya terjaga melainkan aku melihatnya pula pada seluruh amalannya. Dan seorang yang rusak tutur katanya melainkan aku melihatnya tampak pada seluruh amalannya”.
Fudhoil bin ‘Iyadh berpetuah, “Barangsiapa yang menganggap perkataannya bagian dari amalnya, niscaya sedikit perkataannya pada sesuatu yang tidak bermanfaat”.
Gerakan anggota tubuh yang paling ringan adalah lidah, namun itu pula yang paling besar bahayanya bagi seorang manusia.
Abu Hatim rahimahullah berkata, “Wajib bagi orang yang berakal agar berlaku adil kepada telinga dan mulutnya. Dia harus tahu, bahwa ia diberi dua telinga dan satu mulut adalah agar ia lebih banyak mendengar dari pada berbicara. Karena kalau dia berbicara bisa jadi dia akan menyesali dan apabila tidak berbicara dia tidak menyesal. Dan dia akan lebih mudah membantah apa yang tidak dia ucapkan dari pada membantah apa yang telah dia ucapkan”.
Dulu, sebagian ulama tidak menerima hadits dari orang-orang yang berbicara atau mengucapkan kalimat-kalimat yang tidak patut.
Pernah dikatakan kepada Al-Hakam bin Utaibah, “Kenapa engkau tidak menulis hadits dari Zaadaan?”. Ia menjawab, “Dia banyak bicara”.
Lidah dapat menyebabkan dua petaka besar, jika seseorang selamat dari yang satunya belum tentu selamat dari yang berikutnya.
Dua petaka atau bencana itu adalah : petaka berbicara dan petaka diam.
Seorang yang bungkam dan mendiamkan kebenaran adalah setan yang bisu, bermaksiat kepada Allah, bermuka dua dan menjilat , jika dia tidak mengkhawatirkan bahaya atas dirinya.
Dan orang yang mengucapkan perkataan yang batil adalah setan yang berbicara, bermaksiat kepada Allah dengan kata-kata yang ia ucapkan.
Adapun orang-orang yang berjalan di atas jalan yang lurus – semoga Allah memasukkan kita ke dalam golongan mereka – berada di antara dua petaka tersebut. Mereka menahan lidah mereka dari perkataan yang batil dan melepaskannya untuk sesuatu yang mendatangkan manfaat kepada mereka di akhirat. Oleh karena itu, kita tidak adakan dapatkan salah seorang mereka melontarkan kata-kata yang tidak mendatangkan manfaat apalagi yang bisa membahayakan di akhirat.
Seorang mukmin sepatutnya memiliki tutur-kata yang santun, bersih dan terjaga.
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama bersabda, “Bukanlah seorang mukmin itu suka mencela, melaknat, berkata yang keji dan kotor”.[7]
Seorang hamba, bisa jadi di hari kiamat datang membawa kebaikan sebesar gunung, lalu dia dapatkan ternyatalidahnya telah memusnahkan semuanya. Atau sebaliknya, dia datang membawa kesalahan yang banyak ternyata lidahnya menghapusnya karena dia banyak berdzikir dan yang berkaitan dengannya.
Ketika seseorang datang kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallama lalu berkata, “Hai Rasulullah nasehatilah aku’”. Rasul shollallahu ‘alaihi wa sallama, “Jika engkau berdiri dalam sholatmu, maka sholatlah seolah-olah itu sholat terakhirmu. Dan janganlah engkau mengucapkan kalimat yang esok membuatmu menyesal dan bulatkanlah bersungguh-sungguhlah memutus harapan terhadap apa yang ada ditengan manusia”[8].
Kalau saja setiap kita memegang tiga wasiat ini; sholat dengan khusyu’, menjaga lidah, dan menggantungkan harapan hanya kepada Allah, niscaya keberuntungan menyertai langkahnya.
Oleh karena itu ketika Uqbah bin Amir bertanya kepada Rasulullah, “Apa keselamatan itu?”. Maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama menjawab, “Tahanlah lidahmu dan jadikanlah rumahmu lapang bagimu, serta tangisilah kesalahanmu”[9].
Semoga Allah menjaga kita semua dari petaka lidah …
Semoga Allah menguatkan kita untuk menyuarakan kebenaran
Semoga Allah menguatkan kita untuk menahan lidah dari kebatilan, amin.

__________________________
______________
[1] Dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu Musa Al-Asy’ary.
[2] Al-Adzkar Imam An-Nawawi (1/332).
[3] Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (2318) dari Abu Hurairah.
[4] Al-Adzkar oleh Imam An-Nawawi (1/332).
[5] Al-Adzkar oleh Imam An-Nawawi (1/335).
[6] Maksudnya menyindir seseorang yang saya sebutkan sebelumnya.
[7] Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Bukhari di Adabul Mufrod, At-Tirmidzi, Al-Hakim dan lainnya. Dishohihkan Al-Hakim dan disetujui oleh Adz-Dzahabi dan Al-Albani. (Ash-Shohihah 1/319 no. 320).
[8] Diriwayatkan oleh Ahmad dan Baihaqi dan dishohihkan oleh Al-Albani (Shohih Al-Jami’ no. 742)

KEUTAMAAN FAKIR MISKIN

Abul Laits Assamarqandi meriwayatkan dengan sanadnya dari Anas bin Malik r.a. berkata: “Orang-orang fakir mengutuskan utusan mereka kepada Nabi Muhammad s.a.w. maka berkata: “Ya Rasulullah, saya utusan fakir kepadamu.” Jawab Nabi Muhammad s.a.w.: “Selamat datang kepadamu dan kepada orang-orang yang mengutuskanmu, engkau datang dari orang-orang yang dicintai Allah s.w.t.” Utusan itu berkata: “Ya Rasulullah, orang-orang miskin berkata: “Bahwa orang-orang kaya telah memborong semua kebaikan, mereka berhaji dan kami tidak dapat, dan mereka sedekah sedang kami tidak dapat, dan jika sakit mereka mengirim uang untuk tabungan mereka.” Nabi Muhammad s.a.w. bersabda: “Sampaikan kepada orang fakir daripadaku: “Bahwa siapa yang sabar dari kamu akan mengharap pahala dari Allah s.w.t.
Maka ia akan mendapat tiga macam yang tidak boleh didapati oleh orang-orang yang kaya yaitu:
• Didalam syurga ada kamar dari yaqut yang merah, orang-orang syurga itu melihat tempat itu sama dengan orang dunia jika melihat bintang di langit, tidak dapat masuk ke situ kecuali Nabi yang fakir atau orang yang mati syahid yang fakir atau seorang mukmin yang fakir.
• Orang fakir yang masuk syurga sebelum orang kaya sekadar setengah hari yaitu sekira lima ratus tahun, mereka bersuka-suka dengan bebeas leluasa dan Nabi Sulaiman bin Daud a.s. akan masuk sesudah nabi-nabi yang lainnya sekira-kira empat puluh tahun disebabkan oleh kerajaan yang diberikan Allah s.w.t. kepadanya.
• Jika orang fakir membaca: Subhaballah walhamdulillah walaa ilaha illalah wallahu akbar dengan tulus ikhlas dan orang kaya membaca itu, maka orang kaya itu tidak dapat mengejar orang fakir meskipun ditambah dengan sedekah sepuluh ribu dirham. Demikian amal-amal kebaikan yang lain-lainnya
Maka kembalilah utusan itu memberitahu kepada orang-orang fakir miskin apa yang disabdakan oleh Nabi Muhammad s.a.w. itu kepada mereka, maka mereka berkata: “Kami ridho, ya Tuhan, kami puas, ya Tuhan.”
Abul Laits meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Dzar r.a. berkata: “Saya dipesan oleh junjunganku Nabi Muhammad s.a.w. tujuh macam yang tidak sampai saya tinggalkan dan tidak akan saya tinggal semua itu yaitu:
• Saya dipesan supaya suka kepada orang-orang miskin dan mendekati mereka
• Saya dipesan supaya selalu melihat kepada orang-orang yang di bawahku dan tidak melihat pada orang-orang yang di atasku
• Saya dipesan supaya tetap menghubungi kaum kerabat meskipun mereka jauh dan memutuskan hubungan
• Saya dipesan supaya memperbanyakkan membaca: Laa haula walaa quwwata illa billahi, karena itu sebagai perbendaharaan kebaikan atau tabungannya
• Saya dipesan supaya jangan minta apapun dari sesama manusia
• Saya dipesan supaya jangan takut di dalam melaksanakan hukum Allah s.w.t. dari cela (ejekan) orang-orang yang mengejek
• Saya dipesan supaya selalu berkata benar meskipun pahit dan berat
Dan adanya Abu Dzar jika jatuh pecut dari tangannya sedang ia diatas kendaraannya, maka tidak suka minta tolong kepada orang untuk mengambilkannya.
Abul Laits meriwayatkan dengan sanadnya dari Al-A’masy dari Khaitsamah berkata: “Malaikat berkata: “Ya Tuhan, hambaMu yang kafir itu Engkau lapangkan dunianya dan Engkau jauhkan daripada bala.” Jawab Allah s.w.t.: “Kamu buka tempat siksanya.” Dan ketika dilihat oleh malaikat mereka berkata: “Ya Robbi, tidak berguna apa yang mereka dapat dari dunia itu.” Lalu malaikat itu berkata: “Ya Tuhan, hambaMu yang mukmin Engkau jauhkan daripadanya dunia dan Engkau hidangkan kepada bala.” Allah s.w.t. berfirman:” Bukalah tempat pahalanya.” Maka jika telah dilihat oleh malaikat, mereka berkata: “Tidak apalah bagi mereka apa yang mereka derita di dunia.”
Abul Laits meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Dzar Alghifari r.a. berkata: Nabi Muhammad s.a.w. bersabda (Yang berbunyi): “Almuktsirun humul asfalun, illa man qaala bilmaali hakadza wahaa kadzaa waha kadza wahaa kadza wa qaliilun maahum.” (Yang bermaksud): “Orang-orang yang banyak hartanya itu kelak yang paling bawah tempat mereka kecuali yang menggunakan harta itu begini dan begini dan begini dan begini dan begini (Yakni sedekah kekanan, kekiri, kemuka, kebelakang) Dan sedikit yang sedemikian.”
Abul Laits berkata: “Orang kaya itu tempatnya dibawah orang yang miskin baik di syurga atau di neraka, kecuali orang yang selalu sedekah ke kiri kanan, depan belakang dan sedikit sekali yang sedemikian sebab syaitan laknatullah merintangi mereka untuk sedekah.”
Nabi Muhammad s.a.w. bersabda: “Syaitan laknatullah berkata: “Orang kaya tidak dapat selamat dari tiga macam yaitu:
• Saya perhias di dalam pandangannya sehingga tidak dikeluarkan kewajibannya atau
• Saya ringankan tangannya sehingga dikeluarkan tidak pada tempatnya atau
• Saya cintakan dalam hatinya sehingga ia berusaha mendapatkannya walau tidak halal
Abud-Dardaa r.a. berkata: “Ketika Nabi Muhammad s.a.w. diutuskan, sedang saya ingin akan menghimpun antara dagang dengan ibadat, maka tidak bisa, maka saya tinggalkan dagangan dan tetap melakukan ibadat. Demi Allah yang jiwaku ada ditanganNya, saya tidak ingin mempunyai toko di dekat masjid sehingga tidak ketinggalan sembahyang jamaah dan mendapat untung tiap harinya empat puluh dinar untuk bersedekah fisabilillah.” Ketika ditanya: “Mengapakah tidak suka itu?” Jawabnya: “Kerana beratnya perhitungan hisab pada hari kiamat.”
Abu Hurairah r.a. berkata Nabi Muhammad s.a.w. bersabda (Yang berbunyi): “Allahumma man ahabbani farzuqhul afafaa walkafaafa, waman abghadhani faaktsir malahu wawaladahu.” (Yang bermaksud): “Kefakiran itu sukar didunia senang di akhirat dan kekayaan itu kesenangan di dunia dan kerusakan di akhirat.”
Anas bin Malik r.a. berkata Nabi Muhammad s.a.w. bersabda (Yang berbunyi): “Inna likulli ahad hirfah, wahirfati itsnataan: Alfakru wal jihad, faman ahabbahuma faqad ahabbani waman abghadhahuma faqad abghadhani.” (Yang bermaksud): “Tiap orang ada kesukaannya (pekerjaannya) dan kesukaanku fakir dan jidah, maka siapa suka pada keduanya berarti suka kepadaku dan siapa membenci keduanya itu bererti benci kepadaku.”
Abul Laits berkata: “Seharusnya seorang muslim suka kepada orang fakir meskipun ia kaya, sebab cinta kepada orang fakir itu berarti cinta kepada Nabi Muhammad s.a.w. dan juga Allah s.w.t. menyuruh Nabi Muhammad s.a.w. supaya cinta kepada orang-orang fakir miskin sepertimana firman Allah s.w.t. (Yang berbunyi): “Wasbir nafsaka ma alladzina yad uuna robbahum bil ghadaati wal asyiyi yuriduuna wajhahu.” (Yang bermaksud): “Dan sabarkan dirimu berkumpul dengan orang-orang yang selalu berdoa kepada Tuhan pagi dan petang semata-mata kerana mengharap keridhoaanNya.” (Surah Alkahfi ayat 28)
Sebab turun ayat ini karena Uyainah bin Hishin Alfazari tokoh Bani Fazarah masuk ke tempat Nabi Muhammad s.a.w. sedang di situ ada Salman Alfaritsi. Shuhaib bin Sinan Arrumi dan Bilal Alhabasyi dan lain-lainnya dari kaum dhu’afaa’ (yang lemah lembut), mereka dengan pakaian yang jelek dan berbau peluh mereka, maka Uyainah berkata: “Kami ini adalah bangsawan dan mempunyai harga diri, maka bila kami masuk kepadamu, maka keluarkan orang-orang itu sebab mereka mengganggu kami dengan bau dan berilah kepada kami waktu sendiri duduk bersamamu.” Maka Allah s.w.t. melarang Nabi Muhammad s.a.w. mengusir mereka dan diperintahkan supaya sabar berkumpul dengan orang-orang yang tidak meninggalkan sembahyang lima waktu kerana mengharap keridhoanNya. Allah s.w.t. berfirman (Yang berbunyi): “Walaa ta’du ainaka anhum turiidu ziinatal hayatidduniya, wakaana amruhu furutha.” (Yang bermaksud): “Dan jangan engkau palingkan pandanganmu dari mereka karena menginginkan kemewahan dunia, dan jangan menurut kepada orang yang telah Kami lalaikan hatinya dari peringatan (ajaran) Kami, dan hanya menurutkan hawa nafsunya, maka semua urusan halnya sia-sia belaka.” (Surah Alkahf ayat 28)
Dan perintah kepada Nabi Muhammad s.a.w. ini berlaku kepada semua kaum muslimin sampai hari kiamat, kerana itu seharusnya tiap muslim harus suka dan baik kepada orang fakir miskin, serta berbudi kepada mereka karena mereka orang-orang terkemuka di sisi Allah s.w.t. dan dapat diharapkan syafaat mereka.
Alhasan berkata Nabi Muhammad s.a.w. bersabda: “Pada hari kiamat kelak akan dihadapkan seorang hamba, lalu Allah s.w.t. berkata lunak kepadanya sebagaimana seorang yang minta maaf kepada kawannya, maka Allah s.w.t. berfirman: “Demi kemuliaan dan kebesaranKu, Aku tidak menyingkirkan dunia daripadamu kerana hinamu dalam pandanganKu, tetapi kerana Aku telah menyediakan untukmu kemuliaan dan kurnia. Keluarlah hai hambaKu ke barisan-barisan itu dan lihatlah siapa yang dahulu pernah memberi makanan atau pakaiannya kepadamu dengan ikhlas keranaKu.” Maka peganglah tangannya dan ia hakmu, maka berjalanlah ia di tengah-tengah manusia yang sedang tenggelam dalam peluhnya, lalu melihat orang yang dahulu pernah berbuat baik kepadanya lalu dipegang tangannya dan dimasukkan ke syurga.”
Alhasan berkata Nabi Muhammad s.a.w. bersabda: “Perbanyaklah kenalan orang-orang fakir miskin dan berbudilah kepada mereka kerana mereka kelak akan mendapat kekuasaan.” Sahabat bertanya: “Apakah kekuasaan mereka, ya Rasulullah?” Jawab Nabi Muhammad s.a.w.: “Bila tiba hari kiamat maka dikatakan kepada mereka: “Perhatikan siapa yang dahulu pernah memberimu makanan atau minuman seteguk atau pakaian sehelai baju, maka peganglah tangannya dan tuntunlah ke syurga.”
Abul Laits berkata: “Ketahuilah bahwa bagi orang fakir miskin itu akan mendapat lima kemuliaan yaitu:
• Pahala amalnya lebih dari pahala amal orang-orang yang kaya dalam sembahyang, sedekah dan lain-lainnya
• Jika ingin sesuatu dan tidak tercapai di catat baginya pahala
• Mereka lebih dahulu masuk syurga
• Hisab mereka di akhirat lebih ringan
• Penyesalan mereka sangat kurang sebab orang-orang kaya ingin seperti orang fakir di akhirat sedang orang fakir tidak ingin seperti orang yang kaya.
Dan semua keterangan ini ada keterangannya dari hadis-hadis.
Zaid bin Aslam berkata Nabi Muhammad s.a.w. bersabda: “Satu dirham untuk sedekah lebih afdal dari seratus ribu.” Ditanya: “Bagaimana yang demikian, ya Rasulullah?” Jawab Nabi Muhammad s.a.w. “Seorang mengeluarkan dari kekayaannya yang sangat banyak seratus ribu dirham dan disedekahkan dan lain orang yang mengeluarkan satu dirham dari miliknya yang hanya dua dirham tiada ada yang lain dengan senang hati, maka orang yang mengeluarkan satu dirham lebih afdal dari yang seratus ribu dirham.”
Alhasan r.a. berkata Nabi Muhammad s.a.w. ditanya oleh seorang sahabat: “Jika kami menginginkan sesuatu dan tidak dapat mencapainya, apakah kami mendapat pahala?” Jawab Nabi Muhammad s.a.w. “Dengan amalan yang manakah kamu akan mendapat pahala jika tidak mendapat dalam keadaan itu?”
Adh dhahhak berkata: “Siapa yang masuk pasar lalu melihat sesuatu yang diinginkannya lalu ia sabar dan mengharap pahala dari Allah s.w.t., maka yang demikian itu lebih baik baginya daripada sedekah seratus ribu dinar fisabilillah.”
Abul Laits berkata: “Dalil atas kelebihan orang fakir itu ialah ayat (Yang berbunyi): “Wa aqimus shalata wa atuzzakata wa athi urrasula la allakum turhamun.” (Yang bermaksud): “Tegakkan sembahyang dan keluarkan zakat dan taatlah kepada Rasulullah supaya kamu diberi rahmat.”
Didalam ayat ini Allah s.w.t. meletakkan hak orang fakir langsung sesudah hak Allah s.w.t.. Dan juga orang fakir miskin sebagai doktornya orang kaya, sebab jika ia sakit di suruh sedekah kepada fakir miskin, juga sebagai penyucinya sebab bila sedekah kepada fakir miskin maka ia dibersihkan dari dosa-dosanya, juga membersihkan hartanya, juga si fakir itu sebagai pesuruhnya, sebab bila ia akan bersedekah untuk ayah bundanya yang telah meninggal, ia pergi kepada fakir miskin dan memberikan sedekah kepada mereka, juga menjaga kekayaannya, sebab harta yang dikeluarkan zakat dan sedekahnya terpelihara dari bencana.”
Nabi Muhammad s.a.w. bersabda: “Sukakah saya beritahu kepadamu tentang raja-raja di syurga?” Jawab mereka: “Ya, baiklah ya Rasulullah.” Nabi Muhammad s.a.w. bersabda: “Mereka orang-orang yang terhina dan teraniaya, yang tidak diterima untuk mengawini wanita-wanita bangsawan dan hartawan dan tidak dibukakan bagi mereka pintu-pintu yang tertutup, mati seseorang dari mereka sedang hajatnya masih di dalam dadanya belum tercapai tetapi sekiranya sungguh-sungguh minta kepada Tuhan pasti Allah s.w.t. akan memberi padanya.”
Ibn Abbas r.a. berkata: “Mal’un (terkutuk) siapa yang menghormat kerana kekayaan dan menghina karena kemiskinan.”
Abud Dardaa’ r.a. berkata: “Kami tidak adil terhadap saudara-saudara yang kaya sebab mereka makan, kami juga makan, dan minum, kami juga minum, dan mereka mempunyai kelebihan harta yang selalu mereka lihat-lihat dan kami juga melihat harta itu bersama mereka, tetapi mereka bakal dihisab (dituntut) dan kami bebas dari tuntutan.”
Syaqiq Azzahid berkata: “Orang-orang miskin memilih tiga dan orang-orang kaya juga memilih tiga iaitu:
Orang-orang miskin memilih
• Kesenangan jiwa dan
• Kekosongan hati dan
• Ringannya hisab
Sedang orang-orang kaya memilih:
• Sibuknya hati
• Penatnya fikiran
• Beratnya hisab
Hatim Azzahid berkata: “Siapa yang mengakui empat tanpa empat, maka is dusta dalam pengakuannya yaitu:
• Siapa yang mengaku cinta kepada Allah s.w.t. tanpa meninggalkan yang haram
• Siapa yang mengaku cinta kepada syurga tanpa mengeluarkan harta untuk taat kepada Allah s.w.t., maka ia dusta
• Siapa yang mengaku cinta kepada Rasulullah tanpa mengikuti sunnaturrasul maka ia dusta
• Siapa yang menginginkan derajat yang tinggi tanpa bersahabat kepada orang-orang fakir miskin, maka ia dusta
Seorang cendikiawan berkata: “Empat macam siapa yang ada di dalamnya maka ia haram dari kebaikan yaitu:
• Orang yang sombong kepada bawahnya
• Orang yang durhaka terhadap kedua orang tuanya
• Orang yang menghina orang-orang gharib (asing)
• Orang yang menghina orang-orang miskin kerana kemiskinannya
Nabi Muhammad s.a.w. bersabda: “Allah s.w.t. tidak mewahyukan kepadaku supaya mengumpulkan harta dan menjadi pedagang tetapi Allah s.w.t. mewahyukan kepadaku supaya bertasbih dan tahmid kepada Tuhan dan selalu bersama-sama orang-orang yang sujud dan ibadatlah kepada Tuhanmu sehingga mati (mencapai keyakinan yang sesungguhnya.).”
Abul Laits berkata: “Abu Ja’far meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Said Alkhudri r.a. berkata: “Ya Allah, matikan aku sebagai orang fakir miskin dan jangan dimatikan aku kaya dan kumpulkan aku di mahsyar dalam rombongan orang-orang miskin pada hari kiamat, maka sesungguhnya yang amat celaka ialah orang yang miskin di dunia dan tersiksa di akhirat.”
Umar bin Alkhattab r.a. ketika disampaikan kepadanya hasil ghinamah (hasil perang) Qadissiyah, ia memeriksanya dan melihat-lihatnya lalu menangis. Abdurrahman Bin Auf berkata: “Mengapakah engkau menangis, ya amirul mukminin, padahal hari ini hari gembira dan senang?” Jawabnya: “Benar, tetapi suatu kaum yang diberi ini melainkan terjadi kebencian dan permusuhan diantara mereka.”
Ibn Abbas r.a. berkata Nabi Muhammad s.a.w. bersabda: “Tiap ummat ada fitnah (ujiannya) sendiri-sendiri, dan ujian ummatku adalah harta kekayaan.”
Abdullah bin Umar r.a. berkata Nabi Muhammad s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya makhluk yang sangat dikasihi oleh Allah s.w.t. ialah orang yang fakir miskin sebab manusia yang amat dikasihi oleh Allah s.w.t. ialah para Nabi, maka Allah s.w.t. menguji mereka dengan kefakiran kemiskinan.”
Abul Laits meriwayatkan dengan sanadnya dari Alhasan Albashri berkata: “Allah s.w.t. telah mewahyukan kepada Nabi Musa bin Imran a.s: Ada seorang kekasihKu dari seorang hambaKu di bumi akan mati, maka pergilah engkau kepadanya dan mandikan serta kafankan dan kuburkan.” Maka dicari oleh Nabi Musa a.s. di kota tidak bertemu dan di dusun juga tidak bertemu, lalu ia melihat tukang-tukang menggali tanah, maka ia bertanya: “Apakah kamu ada melihat orang sakit atau mati?” Jawab mereka: “Disini di tempat yang rusak ini ada seorang sakit mungkin itu yang engkau maksudkan.” Jawab Nabi Musa a.s.: “Ya benar.” Maka ia pergi kesana. tiba-tiba ada seorang yang sedang sakit menggeletek di atas tanah berbantal batu merah, dan ketika ia sedang menghadapi sakaratul maut jatuh kepalanya dari batu merah itu. Maka berdiri Nabi Musa a.s. sambil menangis dan berkata: “Ya Robbi, inilah kekasihMu, dari hambaMu menderita sakit dan tidak ada seorangpun yang merawatnya.” Maka Allah s.w.t. menurunkan wahyu: “Hai Musa, Aku jika kasih kepada seorang hambaKu, Aku singkirkan dunia daripadanya.”
Abbas Bin Katsir dari Alhasan berkata: “iblis laknatullah mengambil pertama uang emas (dinar) yang dibuat diatas bumi lalu diletakkan antara ketua matanya sambil berkata: “Siapakah yang cinta kepadamu, maka ia hambaku.”
Abul Laits dari Idris dari Wahb bin Munabbih berkata: “iblis laknatullah datang kepada Nabi Sulaiman dan Daud a.s. berupa orang tua lalu ditanya oleh Nabi Sulaiman: “Beritakan kepadaku apa yang akan engkau perbuat terhadap ummat Nabi Isa bin Maryam a.s?” Jawab iblis laknatullah: “Saya akan menganjurkan kepada mereka supaya menggunakan dua Tuhan selain Allah s.w.t.” Lalu apakah yang akan engkau perbuat terhadap ummat Nabi Muhammad s.a.w.?” Jawab iblis laknatullah: “Saya akan iming-imingkan kepada mereka kepada dinar dan dirham (mas dan perak) sehingga itu lebih mereka inginkan daripada Laa ilaha ilallah.” Nabi Sulaiman a.s. berkata (Yang berbunyi): “A udzu billahi minka.” (Yang bermaksud): “Saya berlindung kepada Allah s.w.t. daripadamu.” Tiba-tiba ia sudah tidak ada.
Abul Laits berkata: “Kewajiban seorang fakir ia harus mengerti terhadap kurniaan Allah s.w.t. kepadanya, bahwa Allah s.w.t. menghindarkan dunia daripadanya karena mulianya disisi Allah s.w.t., yang mana Allah s.w.t. telah memuliakannya sebagaimana memuliakan para Nabi-nabiNya dan para Wali, dan mengucap Alhamdulillah dan tidak baginya dari dunia dan andaikan kefakiran tidak mempunyai kelebihan selain sekadar mengikuti kehidupan Nabi Muhammad s.a.w. niscaya itu saja cukup besar.”
Abul Laits meriwayatkan dengan sanadnya dari Thawwus dari Ibn Abbas r.a. berkata: “Ketika Nabi Muhammad s.a.w. duduk bersama Jibril a.s., tiba-tiba Jibril berkata: “Ini ada Malaikat yang turun dari langit yang belum pernah turun, dan ia minta izin kepada Tuhan untuk berziarah kepadamu.” Maka tidak lama datanglah malaikat itu dan memberi salam: “Assalamu alaikum, ya Rasulullah s.a.w” Jawab Nabi Muhammad s.a.w. “Wa alaikum salam.” Lalu malaikat itu berkata: “Allah s.w.t. telah menyuruh engkau memilih antara diberi kunci dari segala sesautu dan diberi kekayaan yang belum pernah diberikan kepada seorang sebelummu dan tidak akan diberikan kepada seorang sesudahmu, tanpa mengurangi apa yang telah disediakan bagimu di akhirat atau dikumpulkan bagimu semua di akhirat (di hari kiamat).” Jawab Nabi Muhammad s.a.w. “Supaya dikumpulkan semua itu bagiku di hari kiamat saja.”
Shafwan bin Saliem dari Abdul Wahhab bin Bajid berkata Nabi Muhammad s.a.w. bersabda: “Telah ditawarkan kepadaku dataran Mekkah ini berupa emas perak, maka saya berkata: “Ya Tuhan, lebih baik saya kenyang sehari dan lapar sehari, maka memujiMu jika kenyang dan minta kepadaMu jika lapar.”